Balada Dinda

gantian duduk

Beberapa waktu yang lalu hampir semua akun socmed, media cetak dan elektronik ramai membahas status Path seorang perempuan yang bernama Dinda, yang curhat tentang kekesalannya terhadap para ibu hamil yang (menurut dia) manja karena selalu minta dikasihani dan minta tempat duduk. Pertama kali saya membaca status ini di Path jujur saya merasa geli, trenyuh, sekaligus prihatin pada Dinda. Geli karena statusnya kok kekanakan sekali padahal sepertinya usia Dinda sudah lebih dari cukup untuk lebih peka terhadap lingkungan sekitarnya. Tapi, ah… bukannya usia bukan ukuran kedewasaan seseorang, ya? Trenyuh dan prihatin, lantaran dia sendiri seorang perempuan yang suatu saat juga akan merasakan menjadi seorang ibu hamil. Tapi kalau ditilik dari kelancarannya menulis status semacam itu di Path sepertinya Dinda ini masih muda, belum menikah, dan belum pernah merasakan menjadi ibu hamil 😀

Well, terlepas dari curhatan Dinda, saya punya cerita sendiri tentang suka duka menjadi ibu hamil dan transportasi publik. Saya merasakan sendiri bagaimana perjuangan menggunakan sarana transportasi umum ketika hamil. Kebetulan saya bukan tipikal orang yang suka merepotkan orang lain. Pun ketika naik transportasi umum. Kalau dikasih tempat duduk ya terima kasih, kalau enggak ya nggak apa-apa. Tingkat keikhlasan orang kan beda-beda, ya. Apalagi hidup di Jakarta. Jadi ya dimaklumi sajalah… *usap peluh*

Dulu, ketika hamil pertama kali, jarak antara rumah dengan tempat saya bekerja relatif dekat, dan sarana transportasinya pun sangat mudah. Tapi walaupun begitu, bukan hal yang mudah bagi seorang perempuan yang sedang mengandung untuk memaksakan diri berjejalan di halte untuk naik Transjakarta atau moda transportasi umum lainnya. Kalau saya memaksakan diri harus ke pool bus ya sepertinya kok agak buang-buang waktu dan tenaga ya, karena pool-nya lebih jauh dari jarak antara kantor dan rumah saya, sedangkan lokasi kantor saya ada di tengah rute mereka. Sering kali saya terpaksa mengalah menunggu sampai antrean halte agak berkurang supaya saya bisa berdiri lebih depan sehingga tidak terhimpit oleh penumpang lainnya yang tenaganya jauh lebih besar. Di dalam bus pun sering kali bangku prioritas untuk ibu hamil/lansia/difabel/ibu dan anak, sudah diduduki oleh penumpang yang tidak sedang dalam kondisi penumpang yang wajib diprioritaskan. Dan tipikal para penumpang yang sudah mendapatkan tempat duduk itu biasanya sama, (pura-pura) tidur sambil menyumpalkan earplug di telinga. Sekali lagi, beruntung waktu itu tempat tinggal saya dekat, jadi kalau terpaksa harus berdiri pun (insyaallah) masih kuat 😀

Di kehamilan saya yang sekarang ini kondisinya sangat jauh berbeda. Jarak antara tempat tinggal dan kantor saya relatif lebih jauh, waktu untuk menempuh perjalanan pun otomatis lebih panjang, apalagi pada kalau naik Transjakarta jurusan Harmoni-PGC yang jalurnya panjang dan macetnya luar biasa. Saya sering kali terpaksa menunggu antrean bus sedikit berkurang supaya bisa dapat tempat duduk. Tapi lama-lama saya menemukan jalur antrean khusus untuk kaum prioritas, jadi saya bisa naik bus sebelum penumpang reguler naik.

Semakin besar kandungan saya, semakin tidak memungkinkan bagi saya untuk menggunakan Transjakarta yang jumlah armadanya terbatas dan banyak penggemarnya itu. Beruntung akhirnya saya menemukan alat transportasi alternatif yaitu shuttle bus yang kini banyak disediakan oleh pengelola mall, sebagai sarana transportasi alternatif bagi para pekerja yang tinggal di luar kota, tapi bekerja di Jakarta. Lumayan aman dan nyaman, walaupun biayanya lebih mahal. Tapi demi kenyamanan, penghematan waktu dan tenaga, penggunaan moda transportasi ini sangat layak 😀

Jadi, kalau kembali lagi tentang status Dinda tadi, saya sangat memaklumi, karena memang Dinda ini belum merasakan bagaimana rasanya menjadi ibu hamil. Jadi masih termasuk ‘wajar’, karena kan biasanya kalau belum mengalami sendiri, cuma melihat dari luarnya saja, memang paling mudah mengeluarkan statement :mrgreen: . Tapi terlepas dari sudah/belum pernah merasakan menjadi ibu hamil/lansia/difabel/membawa anak kecil, ketika kita berada di situasi tersebut coba kita reframe deh, bagaimana jika seandainya kita yang berada di posisi mereka. Jadi ya kembali lagi ke kesadaran masing-masing saja. Rasanya kita tidak perlu menghakimi orang lain yang belum diberi hidayah atau kepekaan melihat lingkungan sekitar. Kalau memang kita di situasi yang sama masih merasa sehat/mampu/ikhlas/kuat bergantian tempat duduk dengan mereka yang patut mendapat prioritas, ya monggo diberikan. Kita tidak pernah tahu, karena bisa saja suatu saat nanti gantian kita yang berada di kondisi yang sama dengan mereka.

Satu hal lagi yang penting untuk diingat, berhati-hatilah memposting status di akun social media, sepribadi apapun settingan akun socmed kita. Kalau dulu kita mengenal adagium “mulutmu harimaumu”, sekarang di era social media ada istilah, “tweetmu harimaumu”, “postinganmu harimaumu”, “statusmu harimaumu”. Sekali saja kita menerbitkan postingan/status, dan lalu menekan tombol enter/publish, seketika itu juga orang lain akan melihat, membaca, mengomentari, dan bahkan menyebarluaskannya ke berbagai akun social media hingga ke batas yang tidak mampu kita tentukan. Itulah saat di mana kita kehilangan kendali terhadap efek apa yang akan timbul kemudian.

Sekalipun kita berkomunikasi secara tidak langsung di ranah maya, namun perlu diingat bahwa yang kita ajak berkomunikasi, yang membaca postingan dan status kita itu juga manusia. Mungkin saja kita tidak bermaksud buruk, namun toh akan selalu ada hal-hal yang diterima secara berbeda jika dilihat dari kacamata orang lain.

Bukan berarti kita tidak boleh mengeluarkan statement/opini, tapi apa salahnya jika lebih berhati-hati ketika akan mengeluarkan opini. Terlebih jika itu sifatnya pribadi dan mengandung hal yang sensitif bagi orang lain.

Just my two cents 😉

 

[devieriana]

 

gambar diambil dari twitternya @gantijakarta

Balada Dinda

Balada Dinda

gantian duduk

Beberapa waktu yang lalu hampir semua akun socmed, media cetak dan elektronik ramai membahas status Path seorang perempuan yang bernama Dinda, yang curhat tentang kekesalannya terhadap para ibu hamil yang (menurut dia) manja karena selalu minta dikasihani dan minta tempat duduk. Pertama kali saya membaca status ini di Path jujur saya merasa geli, trenyuh, sekaligus prihatin pada Dinda. Geli karena statusnya kok kekanakan sekali padahal sepertinya usia Dinda sudah lebih dari cukup untuk lebih peka terhadap lingkungan sekitarnya. Tapi, ah… bukannya usia bukan ukuran kedewasaan seseorang, ya? Trenyuh dan prihatin, lantaran dia sendiri seorang perempuan yang suatu saat juga akan merasakan menjadi seorang ibu hamil. Tapi kalau ditilik dari kelancarannya menulis status semacam itu di Path sepertinya Dinda ini masih muda, belum menikah, dan belum pernah merasakan menjadi ibu hamil 😀

Well, terlepas dari curhatan Dinda, saya punya cerita sendiri tentang suka duka menjadi ibu hamil dan transportasi publik. Saya merasakan sendiri bagaimana perjuangan menggunakan sarana transportasi umum ketika hamil. Kebetulan saya bukan tipikal orang yang suka merepotkan orang lain. Pun ketika naik transportasi umum. Kalau dikasih tempat duduk ya terima kasih, kalau enggak ya nggak apa-apa. Tingkat keikhlasan orang kan beda-beda, ya. Apalagi hidup di Jakarta. Jadi ya dimaklumi sajalah… *usap peluh*

Dulu, ketika hamil pertama kali, jarak antara rumah dengan tempat saya bekerja relatif dekat, dan sarana transportasinya pun sangat mudah. Tapi walaupun begitu, bukan hal yang mudah bagi seorang perempuan yang sedang mengandung untuk memaksakan diri berjejalan di halte untuk naik Transjakarta atau moda transportasi umum lainnya. Kalau saya memaksakan diri harus ke pool bus ya sepertinya kok agak buang-buang waktu dan tenaga ya, karena pool-nya lebih jauh dari jarak antara kantor dan rumah saya, sedangkan lokasi kantor saya ada di tengah rute mereka. Sering kali saya terpaksa mengalah menunggu sampai antrean halte agak berkurang supaya saya bisa berdiri lebih depan sehingga tidak terhimpit oleh penumpang lainnya yang tenaganya jauh lebih besar. Di dalam bus pun sering kali bangku prioritas untuk ibu hamil/lansia/difabel/ibu dan anak, sudah diduduki oleh penumpang yang tidak sedang dalam kondisi penumpang yang wajib diprioritaskan. Dan tipikal para penumpang yang sudah mendapatkan tempat duduk itu biasanya sama, (pura-pura) tidur sambil menyumpalkan earplug di telinga. Sekali lagi, beruntung waktu itu tempat tinggal saya dekat, jadi kalau terpaksa harus berdiri pun (insyaallah) masih kuat 😀

Di kehamilan saya yang sekarang ini kondisinya sangat jauh berbeda. Jarak antara tempat tinggal dan kantor saya relatif lebih jauh, waktu untuk menempuh perjalanan pun otomatis lebih panjang, apalagi pada kalau naik Transjakarta jurusan Harmoni-PGC yang jalurnya panjang dan macetnya luar biasa. Saya sering kali terpaksa menunggu antrean bus sedikit berkurang supaya bisa dapat tempat duduk. Tapi lama-lama saya menemukan jalur antrean khusus untuk kaum prioritas, jadi saya bisa naik bus sebelum penumpang reguler naik.

Semakin besar kandungan saya, semakin tidak memungkinkan bagi saya untuk menggunakan Transjakarta yang jumlah armadanya terbatas dan banyak penggemarnya itu. Beruntung akhirnya saya menemukan alat transportasi alternatif yaitu shuttle bus yang kini banyak disediakan oleh pengelola mall, sebagai sarana transportasi alternatif bagi para pekerja yang tinggal di luar kota, tapi bekerja di Jakarta. Lumayan aman dan nyaman, walaupun biayanya lebih mahal. Tapi demi kenyamanan, penghematan waktu dan tenaga, penggunaan moda transportasi ini sangat layak 😀

Jadi, kalau kembali lagi tentang status Dinda tadi, saya sangat memaklumi, karena memang Dinda ini belum merasakan bagaimana rasanya menjadi ibu hamil. Jadi masih termasuk ‘wajar’, karena kan biasanya kalau belum mengalami sendiri, cuma melihat dari luarnya saja, memang paling mudah mengeluarkan statement :mrgreen: . Tapi terlepas dari sudah/belum pernah merasakan menjadi ibu hamil/lansia/difabel/membawa anak kecil, ketika kita berada di situasi tersebut coba kita reframe deh, bagaimana jika seandainya kita yang berada di posisi mereka. Jadi ya kembali lagi ke kesadaran masing-masing saja. Rasanya kita tidak perlu menghakimi orang lain yang belum diberi hidayah atau kepekaan melihat lingkungan sekitar. Kalau memang kita di situasi yang sama masih merasa sehat/mampu/ikhlas/kuat bergantian tempat duduk dengan mereka yang patut mendapat prioritas, ya monggo diberikan. Kita tidak pernah tahu, karena bisa saja suatu saat nanti gantian kita yang berada di kondisi yang sama dengan mereka.

Satu hal lagi yang penting untuk diingat, berhati-hatilah memposting status di akun social media, sepribadi apapun settingan akun socmed kita. Kalau dulu kita mengenal adagium “mulutmu harimaumu”, sekarang di era social media ada istilah, “tweetmu harimaumu”, “postinganmu harimaumu”, “statusmu harimaumu”. Sekali saja kita menerbitkan postingan/status, dan lalu menekan tombol enter/publish, seketika itu juga orang lain akan melihat, membaca, mengomentari, dan bahkan menyebarluaskannya ke berbagai akun social media hingga ke batas yang tidak mampu kita tentukan. Itulah saat di mana kita kehilangan kendali terhadap efek apa yang akan timbul kemudian.

Sekalipun kita berkomunikasi secara tidak langsung di ranah maya, namun perlu diingat bahwa yang kita ajak berkomunikasi, yang membaca postingan dan status kita itu juga manusia. Mungkin saja kita tidak bermaksud buruk, namun toh akan selalu ada hal-hal yang diterima secara berbeda jika dilihat dari kacamata orang lain.

Bukan berarti kita tidak boleh mengeluarkan statement/opini, tapi apa salahnya jika lebih berhati-hati ketika akan mengeluarkan opini. Terlebih jika itu sifatnya pribadi dan mengandung hal yang sensitif bagi orang lain.

Just my two cents 😉

 

[devieriana]

 

gambar diambil dari twitternya @gantijakarta

Balada Dinda

Punahnya Rasa Kepedulian

Cerita yang nggak seberapa penting, cuma ingin share tentang pengalaman saya hari ini & akhirnya saya simpulkan, bahwa ternyata nggak semua orang punya rasa empati terhadap sesamanya.. 😥

Ceritanya, kemaren saya iseng jalan ke Pasar Festival. Nggak pengen ngapa-ngapain, cuman pengen jalan aja. Kebetulan kalau Sabtu kan libur, sementara suami ngantor setengah hari, jadi ya sudah daripada nganggur dirumah saya milih jalan-jalan aja ke mall kecil yang deket. Padahal Pasar Festival bukan mall sih ya. Bodo amatlah apalah itu namanya :D. Seringnya sih nongkrong baca buku di lantai dasar, di toko buku bekas itu. Kalau nggak gitu ya jalna muter aja sambil cari makan siang di foodcourt. Kebetulan rumah saya di Mampang jadi lumayan dekat kalau mau kesana. Cari transportasi yang mudah & safe ya naik busway.

Tidak berapa lama, tibalah busway yang saya tunggu. Kondisi busway nggak seberapa penuh, tapi tidak ada satu seatpun yang kosong. Kebanyakan penumpang yang baru naik pada berdiri semua, termasuk saya. Dari sudut mata sa, saya memperhatikan safety guard busway yang sedang sibuk tengak-tengok kiri kanan mencari seat yang kosong. Bukan GR atau apa, mungkin dia melihat perut buncit saya yang mulai membuncit ini & bermaksud mencarikan tempat duduk untuk saya (sesuai dengan stiker yang tertempel di busway “utamakan wanita hamil,orang cacat , & manula”).

Jujur saya nggak terllau berharap akan ada yang berbaik hati memberikan tempat duduknya dengan sukarela pada ibu hamil seperti saya. Bukan mau sok kuat atau apa ya, cuma entah ya saya sendiri sudah maklum dengan “budaya” penumpang busway pada umunya. Kenapa saya sebut “budaya”? Ya karena “gayanya” semuanya sama dari busway satu ke busway lainnya. Entah pura-pura atau beneran tidur, sambil pasang earphone ipod di telinga, smsan, telepon, atau cuek saja walaupun ada wanita/ibu2/wanita hamil, kecuali yang memang bener-bener nggak tegaan kaya saya :).

Dulu pas saya belum hamil, saya sering kasih tempat duduk buat ibu-ibu yang sedang hamil, nggak peduli sedang hamil muda (masih ga seberapa buncit tapi dah keliatan) atau yang udah hamil tua (kalau ini sih priorotas). Bukan apa-apa saya orangnya suka nggak tegaan ngeliatnya. Membayangkan harus berdiri menyangga perut & beban yang lain (tas atau other belongings). Pun kalau ada ibu/bapak yang sudah tua saya juga sering kasih tempat duduk (suka ingat sama ortu. Mana tega kita melihat ortu kita berdiri berdesak-desakan di angkutan umum, sementara kita yang masih muda, masih kuat berdiri sok pura-pura nggak tahu, nggak lihat).

Akhirnya, safety guard yang baik itu mendapatkan satu tempat duduk untuk saya denganmeminta penumpang lain (bapak-bapak) untuk mengalah memberikan tempat duduknya untuk saya. Duh, sumpah saya terharu banget. Ini kali pertama saya naik busway dalam keadaan hamil & ternyata masih ada yang peduli sama saya:cry: . Makaish ya mas safety guard (lupa liat namanya), &  pak siapalah.. (yang sudah mengalah memberikan tempat duduknya untuk saya).

Beda sekali pas mau pulang. Kondisi busway masih nggak seberapa penuh, tapi tetap tidak ada satu kursipun yang kosong. Sekali lagi saya nggak berharap akan mendapatkan perlakuan yang sama dengan pas saya berangkat. Dikasih tempat duduk ya syukur alhamdulillah, nggak juga nggak apa-apa. Toh Mampang deket ini.. Dari situlah saya memperhatikan, memang benar, entah memang nggak ada yang memperhatikan saya karena kondisi badan saya masih langsing-langsing aja kaya orang nggak lagi hamil jadi nggak ada yang kasian sama saya 😆 , atau memang sudah pada merasa PW (posisi whuenak), jadi pada mals meninggalkan kurso masing-masing.

But anyway, saya nyantai-nyantai aja kok. Masih untung bisa nyandar di kaca pemisah tempat duduk dekat pintu, sambil smsan sama suami, sambil sesekali memperhatikan tingkah laku penumpang busway. Di seat tengah, ada serombongan remaja yang sengaja duduk berderet satu  grup, malah asik foto-fotoan didalam busway. Saya cuma cuman senyum aja sih. Ternyata tidak semua orang mau peduli dengan orang lain. Mungkin pikirnya, ” Halah, sama-sama bayar ini. Tahu sendiri kan kalau busway jarang ada yang kosong. Nyari tempat duduk juga susah. Rumah gue jauh nih. Maaf yah..”. Mungkin pikir mereka kaya gitu kali ya 😆

Terlepas dari itu semua, samasekali bukan bermaksud untuk dikasihani mentang-mentang saya lagi dalam kondisi hamil lho ya. Nggak sama sekali. Dikasih ya syukur. Nggak juga ya udah, nggak apa-apa. Semua itu kan akhirnya menunjukkan seberapa peduli kita sama orang lain. Kasihan mengasihani itu bukan hal yang harus diminta, harus disuruh. Tapi seharusnya murni muncul dari hati kita secara tulus.

Sayangnya di ibukota ini, kesadaran macam itu sudah mulai punah.. 😦

Punahnya Rasa Kepedulian