Bioskop: Antara Ego vs Basic Courtesy

 

baby in teathre.jpg

Sejak menjadi orang tua, ada hal-hal yang tidak selalu bisa kita lakukan. Selalu ada alasan dan pertimbangan tersendiri kenapa kita memilih untuk tidak melakukannya, melewatkan begitu saja, atau menunda hingga waktu yang tepat.

Kalau dulu, kegiatan yang relatif sederhana seperti jalan-jalan ke mal, perawatan diri ke salon, atau sekadar menonton film menjadi hal biasa/rutin dilakukan, tapi sejak menjadi orang tua ternyata kegiatan itu berubah menjadi sebuah kemewahan. Terutama bagi orang tua yang baru punya bayi. Bulan-bulan awal kelahiran Si Kecil tentu menjadi tantangan tersendiri yang harus bisa ditaklukkan. Jam istirahat yang tidak teratur, jadwal kegiatan harian yang berubah total, termasuk kebiasaan-kebiasaan yang dulu bisa dengan santai dilakukan, sekarang menjadi hal yang “nanti dulu, deh.”

Cerita yang sama juga terjadi pada seorang ibu bekerja, sebut saja Amel, 35 tahun, yang serorang ibu bayi berusia 5 bulan bernama Nasywa. Beberapa waktu lalu dia sempat bercerita panjang lebar tentang banyaknya perbedaan sebelum dan sesudah menjadi ibu.

“Intinya sih, kalau dulu gue bisa kalap mata belanja make up, skincare, atau bisa kapan pun pergi ke bioskop buat nonton film terbaru, sekarang… boro-boro, apa yang jadi kebutuhan bayi gue ya itu yang jadi prioritas gue. Jangankan buat nonton ke bioskop, seringnya gue udah nggak ada energi duluan buat ngerjain hal-hal receh kaya dulu. Jam 7 malem gue udah tepar ngikutin jadwal tidurnya Nasywa. Jadi, ngemal, nyalon, nonton, sekarang ini udah jadi kegiatan tersier buat gue. Lo bisa lihat kan, mata panda gue kaya apa sekarang ini. Belum sempat ke salon buat perawatan pula ini…” Ceritanya sambil terkekeh.

Ketika menjadi orang tua, ada ego dan kebutuhan diri yang kadang harus kita kalahkan untuk sementara waktu. Tapi, toh sama saja dengan manusia lainnya, orang tua pun tetap butuh waktu untuk diri sendiri guna menjaga kewarasan, karena menjadi orangtua juga perlu bahagia dan relaks supaya bisa mendidik dan menjaga anak-anak dengan hati dan pikiran yang gembira.

Ada juga Maya, 32 tahun, pekerja kantoran dengan 3 orang anak. Menjadi ibu bekerja dengan kondisi long distance marriage lantaran suaminya lebih sering berada di luar kota untuk menjalankan bisnis, mengharuskan Maya harus melakukan segala sesuatunya sendiri. Memang selama ini Maya juga dibantu oleh asisten rumah tangga, tapi tetap saja untuk pengambilan kebijakan yang berhubungan dengan anak ya tetap harus Maya yang ambil kendali.

Tentu kita masih ingat kalau beberapa waktu lalu orang sedunia demam film Avengers: Endgame. Di seluruh kanal media sosial hampir semuanya membahas film tersebut. Tak heran demi status kekinian, orang berbondong-bondong ke bioskop untuk menonton film tersebut. Tak terkecuali Maya yang waktu itu bayinya baru berusia 6 bulan. Demi memenuhi hasrat menonton yang sangat tinggi, Maya pun berangkat ke bioskop dengan membawa bayinya.

Dia mengklaim anaknya aman-aman saja selama film berlangsung, karena dia sudah menyediakan earplug/earmuff untuk melindungi telinga bayinya dari tingginya volume suara bioskop. Orang tua seperti Maya tentu bukan cuma satu, dua orang saja, tapi banyak. Terlepas dari banyaknya perdebatan di luar sana tentang urgensi mengajak anak/balita ke bioskop, orang tua tetap harus memperhatikan kesesuaian konten film dengan usia anak.

Berdasarkan Undang-undang No. 33 tahun 2009 tentang Perfilman, Pasal 7 disebutkan,  “Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman disertai pencantuman penggolongan usia penonton film yang meliputi film:
• Untuk penonton semua umur (SU)
• Untuk penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih (R)
• Untuk penonton usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih (RBO)
• Dan untuk usia penonton 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih (D).

Hal yang berbeda diungkapkan oleh Tara, 30 tahun, ibu rumah tangga dengan balita usia 3 tahun.

“Aku tuh nggak ngerti ya sama orang tua yang sebegitunya sama bioskop. Emang bakal mati ya kalau nggak nonton Avengers, John Wick, Annabelle, Aladdin, Lion King, Dua Garis Biru, dan film-film hits lainnya? Aku sengaja nggak ke bioskop sejak punya anak. Karena ya buatku nggak penting, dan nggak perlu memaksakan diri juga kalau anakku nggak ada yang jagain.”

Menurutnya, banyak orang tua yang ignorance bukan hanya dengan lingkungan di mana mereka berada, tapi justru dengan anak mereka sendiri. Salah satu contohnya dengan mengajak balita mereka ke bioskop dan menonton film R rated atau PG Rated, atau membiarkan anak mereka ribut hingga mengganggu kenyamanan penonton lainnya, dengan dalih, “ya udah sih, biar aja, toh sama-sama bayar ini…”

Sebagaimana kita ketahui, kode R adalah “Restricted” atau dibatasi. Anak yang berumur di bawah 17 tahun tidak diizinkan menonton film dengan rating “R”, tanpa pengawasan orang tua. Karena biasanya film ini berisikan materi-materi adegan “orang dewasa” dan adegan “kekerasan”. Sementara PG adalah “Parental Guidance.” Jika kita melihat film dengan rating ini sebaiknya orang tua ikut mendampingi anak-anak, karena film ini mungkin berisi materi yang tidak sesuai untuk anak-anak, termasuk adegan-adegan yang “kurang senonoh”.

Sebagai catatan tambahan, Badan Keselamatan Kerja Amerika Serikat, National Institute for Occupational Safety and Health (NIOS), Occupational Safety and Health Association, serta WHO menerapkan batas aman paparan suara di level 85 desibel, itu baru untuk sebatas suara percakapan standar, belum termasuk adanya kenaikan desibel yang bisa berkali-kali lipat saat aktor berteriak, suara tembakan, hingga ledakan. Padahal bayi dan anak-anak memiliki pendengaran yang lebih sensitif ketimbang orang dewasa.

Selain itu, kita juga harus mempertimbangkan sensitivitas bayi kita terhadap kebisingan. Jika mereka sangat sensitif, bisa jadi nantinya justu kita yang akan lebih banyak menghabiskan waktu di luar bioskop untuk menenangkan anak yang menangis daripada menonton film.

Cari teater yang menawarkan pertunjukan sensorik khusus. Beberapa bioskop sekarang menawarkan film ramah indra selama sore hari. Di mana kondisi tata cahaya studio bioskop yang dibuat lebih temaram, tata suara yang sedikit lebih rendah, dan istimewanya anak bebas untuk bergerak semau mereka, istimewanya mereka tidak dilarang untuk menangis. Rasanya adalah pilihan tepat untuk membawa bayi, karena bioskop ini memang dikondisikan untuk keluarga. Walaupun sayangnya fasilitas studio ramah indra ini tidak selalu ada setiap hari, di semua jam pertunjukan, dan tidak diperuntukkan untuk semua pilihan film yang sedang tayang, tapi setidaknya ini bisa jadi alternatif menonton bersama anak.

Jadi pandai-pandailah mengelola ego. Jangan hanya untuk mengejar status kekinian atau demi konten media sosial, hingga akhirnya mengabaikan kesehatan pendengaran anak, perkembangan psikologis anak karena harus mendengarkan/melihat tayangan yang bukan untuk konsumsi mereka, atau lebih lagi mengorbankan waktu istirahat anak (karena ada lho orang tua yang memilih jam pertunjukan midnite sambil membawa anak-anaknya).

In my super humble opinion, membawa bayi ke bioskop rasanya bukan ide yang tepat.  Lebih ke basic courtesy kepada penonton film lainnya. Jika ada orang tua yang masih bilang kalau anaknya baik-baik saja selama diajak ke bioskop, pastikan bahwa film yang disuguhkan memiliki material yang sesuai dengan range usia anak. Akan lebih baik jika orang tua juga mencari tahu lebih dulu muatan konten film itu tentang apa. Karena tidak semua film superhero atau kartun itu identik dengan film anak.

Perlu diingat juga bahwa kita bukan satu-satunya orang yang membutuhkan hiburan dengan menonton bioskop. Jadi ketika anak-anak sudah terlihat tidak betah, janganlah bersikap egois dengan bertahan di dalam bioskop, dan mengorbankan kenyamanan penonton lainnya.

So really, its up to the parents to recognize what they are doing, and allow others to enjoy the movie instead of listening to a noise that isn’t part of the show.

Just my two cents.

 

– devieriana –

ilustrasi gambar pinjam di sini

Status

(Ada Saat) Harus Menahan Diri

Dulu, ketika saya masih belum punya momongan, di sebuah perjalanan pulang bersama dengan seorang teman, dia sempat bercerita tentang sesuatu yang sampai sekarang masih saya ingat dan saya jadikan pelajaran.

Si teman pernah mengeluh betapa dia sangat menyesalkan sebuah kejadian di masa lalu bersama mantan pasangannya yang saat ini sudah berpisah; saat mereka masih berstatus suami istri dengan ego yang sama tingginya, dan sering tanpa sadar bertengkar di depan anak-anak mereka yang masih balita.

Kalau sudah bicara masalah anak, sama saja bicara tentang salah satu concern dalam kehidupan saya. Si teman bercerita, pernah suatu hari, dia dan suaminya sedang bertengkar hebat di dalam mobil dengan kondisi anak-anak sedang ada bersama mereka. Emosi yang tidak terbendung itu menghasilkan kalimat dan umpatan yang sangat tidak nyaman untuk didengar. Di tengah emosi yang tengah memuncak itu mereka sempat tidak sadar bahwa ada anak-anak mereka yang sedang duduk meringkuk berpelukan di jok belakang, menunduk ketakutan mendengar kedua orang tuanya beradu mulut. Di situlah baru muncul rasa penyesalan yang sangat besar di antara keduanya. Iya, penyesalan memang selalu datang belakangan.

Demi ‘menghapus’ memori menakutkan itu, keduanya berusaha ‘membayar’ dengan memberi lebih banyak waktu untuk bersama; mulai menemani mereka bermain/belajar, mengantar mereka sekolah/les, membelikan mainan/makanan favorit, dan kegiatan lain yang bisa mempererat kebersamaan mereka sebagai keluarga. Dan itu masih terus mereka lakukan hingga saat ini, pun ketika mereka sudah tidak lagi terikat status sebagai suami istri.

Mendengar cerita itu, saya langsung sedih, membayangkan bagaimana anak-anak mereka ketakutan, saling memberikan perlindungan dengan cara memeluk satu sama lain.

Sejak mendengar cerita itu, saya punya komitmen bersama suami, kelak ketika kami sudah dikaruniai anak, sebisa mungkin tidak akan bertengkar, berkonflik, atau mengeluarkan kata-kata kasar di depan anak-anak kami, karena kami sadar bahwa trauma atau ingatan seorang anak itu akan terbawa hingga dia tumbuh kembang dewasa.

Begitu pula ketika ada teman lainnya yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Hal pertama yang saya tanyakan adalah, “ada anak-anak nggak pas kamu mengalami KDRT? Mereka lihat, nggak?”. Jawabannya adalah, “kebetulan pas ada, Mbak. Karena posisinya aku pas lagi ada sama anak-anak…”. Makjleb! Langsung sedih. Membayangkan bagaimana rekaman kekerasan yang dialami/dilakukan oleh orang tuanya itu akan terbawa hingga mereka dewasa nanti.

Selain kekerasan fisik maupun verbal, ada hal lain yang juga saya berusaha hindari. Jangan pernah mengajak anak-anak untuk ikut membenci orang lain. Jangan membingkai mereka ke dalam situasi yang mereka sendiri tidak mengerti.

Secara natural, setiap anak memiliki kebaikan. Mereka terlahir dalam keadaan pikiran dan hati yang bersih/suci. Ketika seorang anak kita ajarkan untuk membenci/melukai orang lain, sama saja kita telah mengajarkan kekejaman, karena sesungguhnya sifat/perilaku itu bukanlah sifat dasar seorang anak. Setiap anak pasti pernah mengalami rasa tidak suka kepada seseorang, tetapi sejauh yang saya tahu, biasanya perasaan itu tidak berlangsung lama.

Mungkin akan lebih baik jika mengajarkan kepada mereka sejak dini tentang bagaimana berpikir secara kritis, menumbuhkan empati kepada orang lain, dan rasa saling menyayangi. Kelak dari situ mereka bisa melatih diri untuk memberi penilaian secara objektif/terbuka terhadap orang-orang yang ada di sekitar mereka, sekaligus mengurangi kebencian yang ditimbulkan oleh rasa takut. Dengan mencegah pola pikir yang ‘dehumanisasi’, anak-anak akan memiliki kesempatan untuk memahami hal yang lebih baik lagi di masa depan.

Alea, putri saya, baru berusia 3 tahun. Selama 3 tahun ini saya, suami, dan anggota keluarga yang lain berusaha untuk membangun citra yang positif di depan Alea, mengajarkan kebaikan, menumbuhkan rasa sayang kepada sesama. Sederhana saja harapan kami supaya kelak Alea terbiasa menyerap dan menerapkan hal yang sama positifnya dalam kehidupannya.

Biasanya, cara paling sederhana yang kami gunakan adalah dengan melalui obrolan sederhana tentang bagaimana kita berperilaku atau memperlakukan orang lain, mendongeng/cerita, atau yang paling efektif ya dengan mencontohkannya secara langsung. Anak-anak seusia Alea kan usia visual, di mana mereka lebih mudah mencontoh apa yang mereka lihat.

Alasan lain kenapa jangan pernah mengajarkan kebencian kepada anak adalah karena saya sadar bahwa saya tidak akan selalu ada buat putri saya. Kelak suatu saat nanti dia pasti akan butuh bantuan keluarga atau orang-orang terdekatnya. Jadi, selama kita masih membutuhkan orang lain, sebisa mungkin jangan membenci secara berlebihan. Karena kita tidak tahu kapan kita akan memerlukan bantuan orang lain, kan?

Anak-anak kita mungkin tidak selalu menyimak apa yang kita tuturkan, tapi sebagai makhluk visual, mereka diam-diam akan mencontoh apa yang kita lakukan. Kita adalah role model pertama bagi anak-anak kita; they are definitely watching. Jadi biarkan anak-anak memperhatikan kita bersikap baik, insyaallah mereka juga akan jadi anak yang baik hati. Maybe it is the oldest, but the goldest methode of all.

Perlakukan anak-anak sebagaimana mereka ingin diperlakukan. Tunjukkan kebaikan kepada mereka dimulai dari hal-hal kecil, and just imagine how good they will feel when they step out into the world.

Just my two cents.

-devieriana-

Status

Limitless Love

happy-mom-daughter

My mother was the most beautiful woman I ever saw. All I am I owe to my mother. I attribute my success in life to the moral, intellectual and physical education I received from her.
– George Washington –

Ibu adalah sosok yang rasanya tak akan pernah habis untuk diceritakan. Sosok istimewa yang sudah jatuh cinta kepada anak-anaknya bahkan sebelum mereka terlahir ke dunia. Jadi wajar kalau akhirnya Ibu menjadi sosok inspiratif bagi semua orang. Saya pun punya pemikiran yang sama; bagi saya Mama adalah sosok yang banyak memberikan saya inspirasi.

Sejak menikah, Mama memilih untuk menjadi ibu rumah tangga. Padahal dulu Mama juga bekerja dan punya kesempatan berkarir yang cukup bagus. Namun demi keluarga yang baru dibangunnya, Mama memilih untuk menjalani karir sebagi ibu rumah tangga yang jam kerjanya 24 jam sehari, 7 hari seminggu, dan itu sepanjang tahun.

Mama adalah pribadi dengan kombinasi yang unik. Sosok ibu yang cerewet, tegas, disiplin, keras kepala, dan absurd. Namun di luar itu semua Mama adalah sosok yang penyayang, berhati lembut, konsisten, dan luwes bergaul dengan siapa saja. Bukan itu saja, saking dekatnya beliau dengan kami bertiga, Mama sampai hafal satu per satu sahabat kami lengkap dengan cerita mereka. Si A rumahnya di mana, Si B pacaran sama siapa, Si C silsilah keluarganya bagaimana, Si D sekolah/kerja di mana, dan seterusnya.

Bukan hanya itu saja, kami (terutama adik saya yang bungsu) sering menjadikan rumah sebagai tempat nongkrong, Mama pun aktif mengajak ngobrol mereka. Bagi kami, Mama bukan hanya seorang ibu, tapi juga sahabat untuk anak-anaknya. Kami bisa cerita tentang apapun, karena Mama adalah pendengar yang baik untuk setiap cerita yang kami ceritakan. Mama adalah sosok yang istimewa. Seistimewa masakan-masakannya yang racikan, takaran, dan rasanya selalu pas!

Orang tua kami kebetulan adalah pasangan yang kompak dalam membesarkan kami. Mereka bukan hanya memberikan kami hal-hal yang manis saja, tapi juga ‘pahit-pahitnya’. Kalau soal dijewer, dimarahi, dihukum, itu sih biasa. Toh imbangannya kami juga sering mendapatkan hadiah dan kebahagiaan dalam bentuk lainnya. Semua diberikan dalam ‘dosis’ yang pas dan seimbang.

Lewat Mama, saya belajar prinsip-prinsip kehidupan; baik sebagai pribadi maupun sebagai individu dalam lingkup sosial. Ada salah satu nasihat yang paling saya ingat dari Mama, “ajining diri dumunung ana ing lathi, ajining raga ana ing busana”, artinya: manusia itu dihargai dari ucapan/kata-kata dan penampilannya, karena penampilan adalah salah satu cerminan kepribadian. Masih menurut Mama, seorang Ibu harus mampu mendidik anak-anaknya lewat perilaku. Anak akan dididik oleh ibunya bukan secara lisan semata, tapi juga pada perilaku dan kesehariannya.

Kini, saya adalah ibu dari bayi mungil bernama Alea yang berusia 6,5 bulan. Menjadi seorang ibu sama seperti diberi kesempatan untuk merasakan keajaiban dalam hidup. Mata saya jadi lebih terbuka. Ternyata menjadi seorang isteri yang sekaligus ibu bekerja ternyata bukan perkara mudah. Setelah cuti selama 2 bulan pasca melahirkan, saya kelimpungan mencari pengasuh bagi Alea.

Bukan hal mudah mencari pengasuh bayi di zaman sekarang, apalagi menyerahkan begitu saja pengasuhan bayi kepada seorang yang belum saya kenal sebelumnya. Hingga akhirnya Mama menawarkan diri untuk membantu menjaga dan mengasuh Alea selama saya bekerja. Tentu saja tawaran ini saya terima dengan suka cita karena dulu saya pernah ‘bercita-cita’ kelak suatu hari kalau saya sudah punya anak, saya ingin Mama saya yang menjaga anak saya 😀 .

Keputusan ini sedikit dilematis memang, karena dengan Mama sementara tinggal bersama saya di Jakarta, berarti akan meninggalkan Papa di Surabaya. Walaupun masih ada adik bungsu saya yang tinggal sekota dengan Papa tapi tetap saja muncul segumpal rasa berat. Tapi untunglah Papa sangat pengertian. Beliau ‘merelakan’ Mama menjaga Alea daripada Alea diasuh oleh orang yang belum tentu bisa menjaga Alea dengan benar. Tentu saja kami akan beberapa kali ke Surabaya untuk pulang ke Papa.

Sampai sebegitunya ya pengorbanan orang tua. Bukan hanya berhenti sampai ke anak, tapi sampai ke cucu. Their love and affection are limitless!

Buat saya Mama adalah guru pertama saya dalam hal pengasuhan anak. Seringkali saya menemukan insight tentang parenting dari beliau. Memang beliau bukan sosok ibu yang sempurna. Sebagai manusia, saat menjalani berbagai perannya, Mama tentu punya kelebihan dan kekurangan. Tapi yang jelas, ketika saya officially menjadi orang tua, orang pertama sekaligus tempat saya berguru tentang parenting ya Mama saya sendiri. Ya, kalau misalnya ada perbedaan cara mengasuh di sana sini ya wajarlah, namanya beda zaman, beda generasi, beda up date informasi. Jadi, adjustment itu pasti diperlukan. Tapi alhamdulillah sejauh ini masih discussable.

Ada satu nasihat sekaligus doa bagi kami, anak-anaknya, “semoga kelak ketika kalian sudah menjadi orang tua, kalian bisa mendidik anak-anak kalian menjadi anak-anak yang sesuai dengan zamannya, humanis, rasional, dan bahagia.”

Pamela Druckerman menulis dalam bukunya yang berjudul Bringing Up Bebe :

” to be a different kind of parent, you do not just need a different parenting philosophy. You need a very different view of what a child actually is. “

Btw, you did it, Ma! 🙂

 

___

sumber ilustrasi diambil dari sini

Tulisan ini disertakan dalam kegiatan Nulis Bareng Ibu. Tulisan lainnya dapat diakses di website http://nulisbarengibu.com

Status

Alea and Newbie Mommy

alea

Menjadi seorang ibu tentu saja sebuah pengalaman baru bagi saya. Ada banyak sekali adjustment yang harus saya lakukan sejak hadirnya Alea. Bukan suatu hal yang mudah ketika saya harus menyesuaikan ritme hidup saya dengan ritme hidup si kecil. Contoh paling mudah adalah ketika Si Kecil pola tidurnya masih belum terpola dan ‘berantakan’, saya pun harus rela jam istirahat saya ikut menjadi kacau. Apalagi di awal-awal menyusui. Duh, jangan ditanya bagaimana derita saya waktu itu. Di tengah belum pulihnya kondisi badan saya pascaoperasi, saya juga mengalami stress karena sekujur badan bentol-bentol alergi antibiotik. Belum lagi puting yang mengelupas (para ibu pasti tahu rasanya); payudara yang sempat bengkak karena terlambat menyusukan ke bayi, hingga akhirnya saya demam meriang sekujur badan. Kepala pening karena pola tidur malam yang kacau. Stress karena ASI yang kurang lancar, dan masih banyak lagi contoh lainnya.

Namun seiring dengan waktu akhirnya fisik dan psikis saya mulai menyesuaikan diri. Bahkan sering kali saya merasa berdosa pada putri saya karena di awal-awal kehadirannya saya belum sepenuhnya mencurahkan perhatian saya padanya. Masih banyak ngeluhnya. Hingga akhirnya saya ditegur Mama karena pernah di suatu malam, ketika Alea menangis karena lapar, saya tidak sanggup bangun karena ngantuk berat. Entah sadar atau tidak saya bilang begini, “kan tadi udah mimik, Dek. Masa belum 2 jam udah mimik lagi? Mama ngantuk, Nak…” Walau akhirnya saya susui juga, tapi dengan mata setengah terpejam. Dengan lembut Mama menegur saya, mengingatkan, bahwa perasaan bayi itu sangat peka. Dia bisa merasakan apakah ibunya ikhlas/tidak ketika menyusui, apakah seseorang itu tulus menyayangi dia atau tidak, apakah seseorang itu tulus menerima kehadirannya atau tidak. Jangan sampai Alea merasa saya tidak ikhlas bangun untuk menyusuinya. Jujur, teguran itu menyadarkan saya dan terasa sangat MAKJLEB; membuat saya langsung bangun untuk menyusui Alea hingga kenyang dan tertidur pulas.

“Ya beginilah perjuangan menjadi seorang ibu (baru). Harus rela bangun malam untuk menyusui bayi, mengganti popoknya kalau dia pup, dan menenangkan dia kalau dia nangis/rewel. Bayi nangis kan bukan selalu karena haus, bisa saja karena dia ngantuk atau nggak nyaman. wis, tho… yang ikhlas. Bayi itu bisa merasakan apakah kita sayang atau enggak, tulus atau enggak. Syukuri setiap detikmu menjadi seorang ibu. Banyak orang di luar sana yang menunggu untuk menjadi seorang ibu, dan ketika sudah menjadi seorang ibu pun belum tentu semua bisa menyusui anaknya karena berbagai sebab. Dinikmati saja ya, Wuk…”

Hiks, iya Ma. Terima kasih sudah diingatkan. Alea, maafkan Mama ya, Nak 😥

Ketika saya menulis postingan ini Alea genap berusia 51 hari; hampir 2 bulan. Itu juga berarti semakin dekat pula cuti saya berakhir dan harus kembali ngantor. Agak berat sih, karena saya juga belum dapat pengasuh untuk Alea 😦 . Nggak mungkin juga saya menggantungkan Alea ke ibu mertua. Beliau sudah sibuk mengurus ayah mertua yang sedang sakit dan juga butuh perhatian. Ya mentok-mentoknya nanti kalau memang belum dapat pengasuh, mungkin Mama saya akan ke Jakarta lagi untuk bantu mengasuh Alea. Ah, kalau ini sih saya bahagia banget, hihihihi 😀

Ada banyak hal mengesankan dan mengharukan selama 51 hari saya menjadi seorang ibu. Pernah di suatu malam, Alea nangis; saya pun buru-buru bangun dan ambil posisi bersandar di headboard tempat tidur sambil memangku Alea siap untuk menyusui. Tapi apa yang terjadi? Alea, setelah tahu bahwa dia sudah ada di pangkuan saya, tangisnya mereda, selama beberapa saat dia memandang saya dan kemudian tertidur pulas dalam keadaan salah satu tangannya salah satu memeluk dada saya. Sontak air mata saya menetes. Ah, ternyata dia cuma ingin bonding, cuma ingin tidur dipeluk mamanya 😦

Kejadian yang satu ini pun membuat saya menjadi mellow. Sore itu Alea sedang menyusu. Seperti biasa, kalau Alea sedang menyusu salah satu tangan saya pasti sambil membelai kepalanya sambil bilang, “Mama sayang kamu, Dek…”. Tapi ada hal yang berbeda sore itu. Sambil masih menyusu, tiba-tiba kedua tangan Alea memeluk erat tangan saya sambil mata beningnya menatap saya, seolah ingin bilang kalau dia juga sayang sama saya. Duh, Nak… hati Mama langsung meleleh nih 😦

Ada lagi hal mengharukan, bertepatan dengan aqiqah Alea yang jatuh pada tanggal 21 Agustus 2014 kemarin. Biasanya, Alea suka rewel kalau jenuh, haus, atau gerah. Biasalah namanya juga bayi. Saya juga khawatir selama pengajian nanti dia akan nangis rewel karena jenuh dan capek. Tapi sepertinya saya telah meremehkan putri saya ini. Sepanjang acara yang berlangsung selama kurang lebih 2 jam itu, dia anteng di pangkuan saya seolah menyimak segala doa yang dilantunkan oleh para tamu pengajian yang diperuntukkan baginya. Hanya sekali saja dia mewek karena haus, tapi itu pun tidak lama karena setelah saya susui dia tenang kembali dan khusyu mengikuti keseluruhan jalannya acara aqiqah. Subhanallah…

Dan kejadian terakhir, baru saja terjadi. Biasanya kalau habis mandi sore Alea pengennya menyusu, dan tidur hingga habis maghrib. Lha ini tumben, sampai adzan Isya dia masih melek lebar banget padahal sudah menyusu sampai kenyang dan digendong Nina Bobo muterin kamar sampai kaki saya pegal. Akhirnya ya sudahlah, berhubung saya belum shalat, saya taruh saja dia di tempat tidur, nanti kalau selesai shalat dan dia belum tidur, saya gendong lagi. Sambil mengecup lembut keningnya, saya bilang, “Sayang, Mama mau shalat dulu ya. Sayang bobo di sini dulu ya. Nggak boleh rewel ya, Nak. Love you…” dan saya pun meninggalkan kamar untuk makan dan ambil wudhu. Setelah makan dan wudhu, saya kembali ke kamar dan ternyata menemukan pemandangan princess saya ini sudah lelap, bobo sendiri. Duh, Nak… pinter banget kamu. Tahu gitu dari tadi Mama taruh kamu di kasur ya 😀

Sebagai seorang ibu baru saya masih harus banyak belajar. Belajar jadi ibu yang baik untuk Alea dan belajar mengenal lagi putri saya. Saya tahu perjalanan mengenal Alea masih panjang. Saya juga tahu tidak ada yang manusia yang sempurna, pun menjadi orangtua. Saya dan suami hanya berusaha menjadi dan memberikan yang terbaik untuk Alea.

Maafkan kami yang belum sempurna menjadi orangtua ya, Nak. We do love you, Princess… :*

 

[devieriana]

 

 

 

Alea and Newbie Mommy