Egosystem itu Bernama Social Media

vintage-social-networking

“When little people are overwhelmed by big emotions, it’s our job to share our calm, not to join their chaos”
– L.R. Knost –

Sekian minggu lalu ranah sosial media diramaikan dengan bahasan selebgram bernama Karin Novilda alias Awkarin. Ketika bahasan tentang Pokemon sedang menjadi topik hangat, mendadak linimasa twitter saya ramai membahas Awkarin. Saya yang bukan pemerhati seleb sosial media langsung clueless, apakah Awkarin ini juga sejenis Pokemon?

Telusur punya telusur, ternyata sosok perempuan fotogenic ini sudah lama dikenal sebagai selebritas sosial media yang punya pengaruh kuat bagi para followers-nya. Awkarin juga representasi anak gaul instagram yang selalu memaksimalkan foto-foto di instagramnya sehingga terlihat keren. I have to admit she does it well. Awkarin juga merupakan fenomena generasi swag yang tengah banyak merebak sekarang. Swag? Iya, kalau menurut ‘kamus’-nya Justin Bieber, swag itu “its just about being yourself, you dont have to do anything special, just be yourself.” Jadi intinya menjadi diri sendiri.

Nah, kalau ada istilah ‘swag‘, ada pula istilah ‘swagger‘. Awkarin ini adalah swagger. Swagger artinya sosok yang dominan atau elite karena kelebihan yang dimilikinya. Seseorang menjadi swagger karena dia keren, punya rasa percaya diri yang tinggi, punya selera fashion yang bagus, serta punya karisma bagi para pengikutnya.

Bagi para followers-nya, Awkarin dianggap sebagai sosok anak muda idola, lengkap dengan gaya hidup yang free spirited, rebellious, gaya busana yang selalu up date, dan gayanya yang edgy (forefront of a trend; experimental or avant-garde), dan seterusnya, dan seterusnya (ngomong-ngomong soal gaya yang edgy, saya lebih setuju dengan gaya edgy-nya Evita Nuh). Oh ya, bukan itu saja, gaya pacaran Awkarin yang sedikit bablas pun dimasukkan sebagai bentuk relationship goals oleh para followers-nya. Intinya, segala yang dilakukan Awkarin di kanal sosial media adalah goals-nya anak muda. Jujur, saya merasa trenyuh, semudah itukah anak muda zaman sekarang mengidolakan seseorang hanya karena dia itu gaul, seksi, dan edgy (walaupun akhirnya arti kata edgy ala Awkarin itu akhirnya kabur dengan arti kata cabul)?

Anyway, sosok semacam Awkarin ini cuma ‘puncak gunung es’; di luar sana ada banyak sosok sejenis yang punya gaya hidup kurang lebih sama, hanya saja belum/tidak terekspos jadi viral di dunia maya. Apa yang terjadi dengan Awkarin juga bukan hal yang sama sekali baru. Di zaman saya remaja dulu, orang-orang semacam Awkarin ini sudah ada. Anak-anak gaul di masanya, dengan gaya pacaran yang bablas, penggunaan bahasa yang kasar dan ‘kurang beradab’, drama patah hati sampai ingin bunuh diri, dan seterusnya. Bedanya, zaman dulu belum ada sosial media sehingga tidak ada ajang untuk eksis dan pamer (termasuk memamerkan kebodohan sebagai anak muda). Bayangkan, kalau dari dulu sudah ada sosial media seperti sekarang, dan misalnya kita juga sama hebohnya dengan Awkarin, mengunggah segala macam aktivitas di sosial media, ada berapa banyak jejak-jejak kebodohan kehebohan dan aib yang sudah saya, kalian, atau kita umbar dengan ‘bangga’ di sosial media tanpa memikirkan efek yang akan timbul di masa depan. Karena perlu diingat bahwa sekali saja kita mengunggah sesuatu di ranah maya, dia akan selamanya ada. A cloud is not a thing of the sky anymore, its a place where we store data. Apa pun yang ada di online, akan permanen berada di situ, selamanya tidak akan hilang.

social-media1

Sosial media, lagi-lagi seperti pernah saya tulis di beberapa postingan sebelum ini, adalah pisau bermata dua; dia dapat menjadi sahabat penuh manfaat tapi juga bisa jadi musuh terjahat. Karena social media, selain sebagai media untuk mengekspresikan diri, juga berfungsi sebagai sneak peek atau penggalan hidup sang pengguna, di mana hal itu dapat menjadi indikator kepribadian, juga status sosial ekonominya.

Bagi anak muda zaman sekarang menjadi kaya dan terkenal secara instan menjadi salah satu tujuan membuat akun sosial media. Maka tak heran kalau anak-anak muda seusia Awkarin memiliki banyak akun sosial media. Beruntung bagi yang mampu mengelola akun sosial medianya dengan baik, menjadi selebriti di dunia maya bisa jadi panggung yang menguntungkan, karena tanpa harus bersusah payah mempopulerkan diri, mengikuti audisi, atau job interview, panggung mereka bisa ditonton oleh banyak orang dan dihadiahi dengan uang, barang, atau paket liburan, kurang lebih seperti Awkarin ini. Tapi bagi yang kurang bijak, ya sama seperti Awkarin juga efeknya, bukan hanya jadi viral, tapi juga jadi bulan-bulanan, dan hujatan oleh para netizen.

Segala label, pujian, embel-embel edgy, keren, gaul, itu punya masa kedaluwarsa. Akan ada saatnya kita menjalani hidup yang jauh lebih serius ketimbang mengejar popularitas, karena sesungguhnya label sosial media yang tersemat itu tidak pernah nyata. Seiring waktu, yang kita butuhkan akan jauh lebih complicated dari sekadar pelabelan, karena masa depan membutuhkan eksistensi kita secara lebih real. Time will fly so fast and those will be all gone.

Sesungguhnya dunia digital dan pernak-perniknya adalah hamparan luas bagi pembelajaran dan hiburan, pun halnya dengan sosial media yang bisa kita ibaratkan seperti mall yang tak terbatas. Di mall yang tak terbatas inilah anak-anak (muda) rentan terkena berbagai risiko, seperti cyber bullying, kecanduan teknologi, konten pornografi, kekerasan, radikalisasi, penipuan, dan pencurian data, yang semua itu akibat dari minimnya awareness.

Tapi kalau kita semena-mena menyalahkan sosial media kok rasanya kurang fair ya. Seperti ketika kasus Awkarin ini mengemuka, satu hal yang berputar dalam pikiran saya adalah ke mana ya orang tuanya? Atau, sebenarnya seberapa dekatkah hubungan Awkarin dengan keluarganya? Karena tidak semua orang salah gaul hanya karena kebanyakan bermain sosial media. Saya percaya bahwa pilar utama dan sumber pendidikan moral adalah keluarga. Jadi, sudah benar-benar hadirkah sosok orang tua dan keluarga Awkarin dalam kehidupan sehari-hari gadis belia ini? Tapi sebelum menghakimi, marilah pertanyaan itu juga kita hadirkan dalam perenungan kita sebagai orang tua atau orang yang sudah lebih dewasa secara usia, sikap, dan pemikiran.

Ada banyak orang tua yang masih memberlakukan pola pengasuhan yang sama persis, plek-ketiplek dengan masanya dulu. “Ah, dulu zaman Mama masih muda nggak ada tuh yang begini-begini”. “Harusnya kamu bisa kaya Mama waktu masih muda dulu, begini, begini, begini…”. Tanpa sadar, orang tua juga membandingkan masa muda mereka dengan anak-anaknya sekarang. Padahal jelas-jelas mereka hidup di zaman dan lingkungan generasi yang berbeda; yang secara otomatis pasti berbeda pula perlakuannya. Sebagai orang tua, kita wajib menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman di mana anak-anak kita tumbuh. Ada skill, kecerdasan, dan ilmu baru yang mau tidak mau harus kita kuasai sebagai orang tua anak zaman sekarang.

Sebagai orang tua yang tumbuh bersama para generasi Z dan generasi Alpha, yang konon adalah para generasi digital, ada baiknya perlu kita tekankan sejak dini kepada anak-anak, bahwa sekalipun teknologi dan sosial media itu bermanfaat, tetap harus ada kontrol diri untuk tetap menjaga privasi di ranah maya. Sejak dini mulai belajar memilah mana saja konten yang perlu/boleh diunggah, dan mana saja yang tidak perlu. Jangan biarkan anak kita menggali kuburnya sendiri di sosial media.

Most of all, selalu ada hal positif yang bisa kita ambil dari setiap kejadian. Selama ini kita mungkin sudah dianggap level mahir dalam bermain sosial media, tapi apakah kita sudah bijak menggunakannya? Mahir saja kalau tidak bijak juga percuma. Kalau saja kasus Awkarin ini tidak mengemuka, mungkin saja mata kita belum terbuka tentang pentingnya kehati-hatian dalam menggunakan sosial media, mungkin saja kita menganggap pergaulan anak-anak kita aman-aman saja, atau menganggap bahwa anak-anak kita sudah tercukupi kebutuhannya secara material tanpa tahu apakah secara afeksi dan perhatian mereka sudah merasa tercukupi, dan berbagai pertanyaan koreksi diri lainnya.

Semoga kita dan anak-anak kita tumbuh menjadi generasi yang bukan hanya melek secara teknologi dan mahir menggunakan sosial media, tapi juga bijak dalam memanfaatkan dunia digital dan berbagai afiliasinya.

 

-devieriana-

 

sumber ilustrasi: wronghands1

Status

Di Balik Topeng Media Sosial

Media sosial, sebagaimana pernah saya tulis di tahun 2013, yang bertajuk Avatar , ibarat pisau bermata dua; dia dapat menjadi sahabat penuh manfaat tapi juga bisa jadi musuh terjahat. Bagi yang mampu mengelola akun media sosialnya dengan baik, menjadi selebriti di dunia maya bisa jadi ‘panggung’ yang menguntungkan, karena tanpa harus bersusah payah mempopulerkan diri, mengikuti audisi, atau job interview, (jika beruntung) ‘panggung’ mereka bisa ditonton oleh banyak orang dan dihadiahi dengan uang, barang, paket liburan, dll.

Dulu, ketika masih aktif di media sosial, saya memang ikut memanfaatkannya untuk banyak hal. Misalnya berbagi info tentang kegiatan komunitas yang saya ikuti, sharing knowledge, atau menggalang dana untuk misi sosial. Tapi sekarang, saya sudah banyak mengurangi hiruk pikuk di dunia media sosial. Mungkin karena semua ada masanya; mungkin saya orangnya mudah bosan, mungkin juga fokus saya saat ini bukan lagi ke media sosial seperti beberapa tahun yang lalu, tapi lebih ke keluarga, utamanya ke Si Kecil yang sekarang sedang memasuki golden age.

Ada seorang teman yang sengaja tidak bermain di media sosial apapun, alasannya, “gue nggak mau sosmed memperbudak hidup gue…” Lho, bukannya kita tetap bisa mengontrol mau posting apa, dan kapan, ya? Tanya saya. “Iya, tapi tetep aja kan lo memposting hal yang ‘diminta’ sama sosmed. Misal, di facebook, “what’s on your mind”, atau di status twitter, “what’s happening”, di instagram ‘minta’ lo posting caption foto ini itu. Nah, maksud gue tuh kaya gitu itu…” Saya nyengir. Media sosial itu kalau buat saya sih tempat bermain alias playground, tapi pernah ada di suatu masa ketika saya kebanyakan mainan sosial media walaupun tidak sampai mengalami adiksi. Jadi, dengan setengah hati saya terpaksa mengiyakan statement-nya itu.

Jadi ingat kisah Essena O’neill, seorang remaja asal Australia yang juga seorang selebgram. Sebagai seorang selebritas media sosial, hampir segalanya telah dia miliki utamanya dari hasil endorse barang di youtube/instagram. Tapi ternyata Essena yang memiliki ratusan ribu pengikut di Youtube dan Instagram itu mengatakan bahwa segenap popularitas dan barang branded yang dimilikinya belum membuatnya bahagia. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk menjadi dirinya sendiri, berterus terang kepada para fansnya tentang kisah yang berada di balik setiap foto-foto yang sempurnanya itu. Puncaknya, pada medio 27 Oktober 2015, ia menghapus lebih dari 2000 foto di instagramnya sebagai upayanya melawan adiksi terhadap sosial media. Keputusan itu diambil karena dia merasa hidupnya selama ini terlalu ‘dikonsumsi’ oleh media sosial, sehingga dia seolah hidup dalam dunia ‘dua dimensi’.

Dia mengakui bahwa sangat mudah baginya untuk memperoleh follower baru di media sosialnya, atau mendapatkan ‘likes’ di setiap foto yang diunggahnya. Tapi sejujurnya, yang mampu membuatnya bahagia adalah ketika dia melihat secara kenyataan bahwa dia menginspirasi orang lain untuk membuat perubahan positif atas hidupnya, bukan cuma mendorong mereka untuk membeli sesuatu yang baru sebagaimana barang yang dia endorse di balik foto-foto yang dia unggah di media sosial.

Ada orang-orang yang tampil di instagram dengan kesempurnaan tertentu dan menjadi ‘standar’ kesempurnaan fisik manusia. Tapi siapa sangka sebenarnya secara hidup mereka tidaklah sebahagia dan secantik yang ditampilkan di media sosial. Sama halnya seperti orang-orang yang berusaha menginspirasi dan memberi semangat ke orang lain, sementara di saat yang sama sebenarnya dia juga sedang butuh pencerahan, inspirasi, dan suntikan semangat. Been there done that. Sebaliknya, ada orang-orang yang berpenampilan biasa saja, tapi mereka justru orang-orang yang bahagia seutuhnya, mereka juga memiliki ikatan yang kuat dengan keluarga dan lingkungan sosial mereka, bahagia menjadi diri mereka sendiri tanpa berpura-pura menjadi seseorang yang berbeda.

Dengan demikian bukan berarti media sosial bisa dijadikan tolok ukur kebahagiaan dan pengakuan, or even worse, pencitraan. Sangat mudah ‘menciptakan’ hidup yang ‘ideal’ melalui filter yang impresif di media sosial. Karena tujuan media sosial selain untuk mengekspresikan diri, juga bisa berfungsi sebagai sneak peek atau penggalan hidup sang pengguna, di mana hal itu dapat menjadi indikator kepribadian, pun status sosial ekonominya.

Di balik itu semua, saya pribadi setuju bahwa media sosial dapat menjadi salah satu bagian dari personal branding dan sangat sayang kalau tidak dimanfaatkan sama sekali di era yang makin kompetitif ini. Bagi orang-orang yang berjiwa enterpreneur, publisitas dan exposure akan mempunyai peran yang sangat bagus jika dimaksimalkan penggunaannya.

Itulah mengapa terlalu mendalami peran dalam sandiwara pencitraan hanya demi berlomba mendulang followers, meraup ‘likes’, serta memancing pujian yang sebenarnya bukanlah kehidupan nyata itu sedikit berbahaya bagi kesehatan jiwa. Akan ada saatnya di mana kita letih berpura-pura dan ingin tampil apa adanya.

Semoga saja sebelum nafsu dan emosi mengambil alih kendali atas ujung jari kita untuk mengunggah sisi rapuh dan kelemahan kita, akal sehatlah yang mampu membantu mengurungkan niat agar harga diri tetap terjaga. Karena sesungguhnya fame dan pure itu cuma beda tipis.

Just my two cents.

-devieriana-

Status

Tentang Twitwar Offline Itu

social media

Akhir-akhir ini saya sudah tidak seaktif tahun-tahun lalu dalam menggunakan sosial media mainstream, utamanya twitter dan facebook. Kalaupun iya masih login ya kalau sedang ingin login saja, sekadar ingin melihat berita apa yang sedang hits di media-media itu. Kalau bicara tentang frekuensi membuka socmed yang mana, mungkin justru lebih sering membuka blog daripada twitter/facebook (walaupun up date-nya pun jarang 😆 ).

Kurang lebih seminggu yang lalu, di Twitter, terjadi ‘kehebohan’. Apa itu? Ada yang twitwar! Halah biasa! Eh, kalau di twitter terjadi twitwar antarakun mungkin kedengarannya sudah biasa ya. Tapi twitwar yang kemarin bukan sekadar twitwar antarpemilik akun seperti biasanya, tapi twitwar yang berujung perkelahian antara 2 orang dewasa yang masing-masing mempunyai perbedaan pendapat tentang politik, dan akhirnya berujung pada perkelahian fisik di Istora Senayan. Dalam hitungan detik, berita perkelahian tak elok tersebut menjadi viral di berbagai sosial media.

Ketika berita itu diunggah ke media online saya tertawa sendiri sambil bergumam, “oh, ternyata twitwarnya beneran dilanjutin ke berantem ya? 😆 “. Saya memang sempat mengikuti perdebatan mereka di twitter walaupun tidak terlalu intens. Tapi saya tidak terlalu ambil pusing, karena seperti yang sudah-sudah pasti cuma berujung debat kusir.

Awalnya adalah ketika ada salah satu akun mengetwit tentang kunjungan Presiden Joko Widodo ke Malaysia untuk membicarakan prospek kolaborasi dengan produsen mobil Malaysia Proton untuk memproduksi mobil nasional Indonesia. Ketika akun tersebut sedang membahas kemungkinan program kolaborasi tersebut ternyata ada pengguna twitter lainnya yang mengkritik rencana tersebut. Dari situlah adu kicau terjadi; saling adu argumen yang akhirnya meningkat jadi aksi saling bully.

Twitter adalah sebuah ranah di mana cyberbullying (atau sering disebut bullying 2.0 atau kekejaman online) sering diterapkan, utamanya pada situasi ketika para pengguna teknologi digital terlibat dalam perilaku menyakiti pengguna internet/teknologi digital lainnya. Bentuk cyberbullying ini bisa bermacam-macam; bisa berupa celaan, cercaan, atau hinaan kepada satu sama lain. Bisa juga berupa kata-kata atau tindakan yang bersifat mempermalukan/melecehkan dan atau membahayakan orang lain. Bukan itu saja, yang paling sering dilakukan adalah dengan menciptakan akun-akun anonim dan digunakan untuk menyerang pemilik akun yang menjadi sasaran dengan menggunakan kalimat-kalimat atau ilustrasi yang bersifat merendahkan. Bentuk lain dari cyberbullying adalah melakukan aksi pengecualian (exclusion); aksi yang secara khusus dan sengaja mengecualikan seseorang dari kelompok online, seperti misalnya memutuskan hubungan dari media sosial padahal awalnya kedua pihak ini saling berhubungan atau berteman. Dan masih banyak lagi bentuk tindakan-tindakan cyberbullying lainnya yang mungkin tanpa sadar kita sendiri pernah (khilaf) melakukannya.

Brian Solis mengatakan, “Social Media is more about sociology and psychology more than technology”.

Ketika kita bicara tentang sosial media, kita bukan hanya akan bicara tentang teknologi semata, tapi bicara tentang sosial media secara menyeluruh, baik itu secara strategis, perspektif, dan sisi psikologis para penggunanya.

Lalu, apa menariknya perkelahian dua orang yang berawal dari twitwar di twitter itu? Tidak ada menariknya sama sekali. Tapi ada hal yang bisa dipelajari di sini. Pertama, dua orang yang adu jotos di Istora seminggu yang lalu adalah dua orang yang sudah dinyatakan matang secara usia. Tapi pada kenyataannya usia bukanlah ukuran kedewasaan dalam bertindak dan berpikir. Kedua, walaupun banyak yang mengklaim dirinya sudah lama dan mahir bersosial media, nyatanya tidak semuanya paham bagaimana ‘bermain’ di sosial media; buktinya masih ada yang membawa-bawa emosi online ke offline. Ketiga, setelah insiden adu jotos kemarin, saya yakin tidak ada satupun yang peduli tentang siapa yang sebenarnya jadi pemenang, yang terlihat hanyalah dua orang dewasa yang sama-sama kehilangan martabat dan akal sehat.

Sekadar tips ringan, ada baiknya kalau kita sudah merasa jenuh bersosial media, atau mudah terbawa emosi hanya karena membaca status sebuah akun, tidak ada salahnya untuk off sejenak dari dunia sosial media. Biasanya pikiran kita akan lebih fresh ketika kita kembali mengunjungi laman sosial media kita.

Ya, akhirnya sosial media hanyalah taman bermain bagi pengguna internet… seperti saya…

“Social media is changing the world, and we’re all here witnessing it”
Ian Somerhalder

-devieriana-

ilustrasi dipinjam dari sini

Tentang Twitwar Offline Itu

Balada Dinda

gantian duduk

Beberapa waktu yang lalu hampir semua akun socmed, media cetak dan elektronik ramai membahas status Path seorang perempuan yang bernama Dinda, yang curhat tentang kekesalannya terhadap para ibu hamil yang (menurut dia) manja karena selalu minta dikasihani dan minta tempat duduk. Pertama kali saya membaca status ini di Path jujur saya merasa geli, trenyuh, sekaligus prihatin pada Dinda. Geli karena statusnya kok kekanakan sekali padahal sepertinya usia Dinda sudah lebih dari cukup untuk lebih peka terhadap lingkungan sekitarnya. Tapi, ah… bukannya usia bukan ukuran kedewasaan seseorang, ya? Trenyuh dan prihatin, lantaran dia sendiri seorang perempuan yang suatu saat juga akan merasakan menjadi seorang ibu hamil. Tapi kalau ditilik dari kelancarannya menulis status semacam itu di Path sepertinya Dinda ini masih muda, belum menikah, dan belum pernah merasakan menjadi ibu hamil 😀

Well, terlepas dari curhatan Dinda, saya punya cerita sendiri tentang suka duka menjadi ibu hamil dan transportasi publik. Saya merasakan sendiri bagaimana perjuangan menggunakan sarana transportasi umum ketika hamil. Kebetulan saya bukan tipikal orang yang suka merepotkan orang lain. Pun ketika naik transportasi umum. Kalau dikasih tempat duduk ya terima kasih, kalau enggak ya nggak apa-apa. Tingkat keikhlasan orang kan beda-beda, ya. Apalagi hidup di Jakarta. Jadi ya dimaklumi sajalah… *usap peluh*

Dulu, ketika hamil pertama kali, jarak antara rumah dengan tempat saya bekerja relatif dekat, dan sarana transportasinya pun sangat mudah. Tapi walaupun begitu, bukan hal yang mudah bagi seorang perempuan yang sedang mengandung untuk memaksakan diri berjejalan di halte untuk naik Transjakarta atau moda transportasi umum lainnya. Kalau saya memaksakan diri harus ke pool bus ya sepertinya kok agak buang-buang waktu dan tenaga ya, karena pool-nya lebih jauh dari jarak antara kantor dan rumah saya, sedangkan lokasi kantor saya ada di tengah rute mereka. Sering kali saya terpaksa mengalah menunggu sampai antrean halte agak berkurang supaya saya bisa berdiri lebih depan sehingga tidak terhimpit oleh penumpang lainnya yang tenaganya jauh lebih besar. Di dalam bus pun sering kali bangku prioritas untuk ibu hamil/lansia/difabel/ibu dan anak, sudah diduduki oleh penumpang yang tidak sedang dalam kondisi penumpang yang wajib diprioritaskan. Dan tipikal para penumpang yang sudah mendapatkan tempat duduk itu biasanya sama, (pura-pura) tidur sambil menyumpalkan earplug di telinga. Sekali lagi, beruntung waktu itu tempat tinggal saya dekat, jadi kalau terpaksa harus berdiri pun (insyaallah) masih kuat 😀

Di kehamilan saya yang sekarang ini kondisinya sangat jauh berbeda. Jarak antara tempat tinggal dan kantor saya relatif lebih jauh, waktu untuk menempuh perjalanan pun otomatis lebih panjang, apalagi pada kalau naik Transjakarta jurusan Harmoni-PGC yang jalurnya panjang dan macetnya luar biasa. Saya sering kali terpaksa menunggu antrean bus sedikit berkurang supaya bisa dapat tempat duduk. Tapi lama-lama saya menemukan jalur antrean khusus untuk kaum prioritas, jadi saya bisa naik bus sebelum penumpang reguler naik.

Semakin besar kandungan saya, semakin tidak memungkinkan bagi saya untuk menggunakan Transjakarta yang jumlah armadanya terbatas dan banyak penggemarnya itu. Beruntung akhirnya saya menemukan alat transportasi alternatif yaitu shuttle bus yang kini banyak disediakan oleh pengelola mall, sebagai sarana transportasi alternatif bagi para pekerja yang tinggal di luar kota, tapi bekerja di Jakarta. Lumayan aman dan nyaman, walaupun biayanya lebih mahal. Tapi demi kenyamanan, penghematan waktu dan tenaga, penggunaan moda transportasi ini sangat layak 😀

Jadi, kalau kembali lagi tentang status Dinda tadi, saya sangat memaklumi, karena memang Dinda ini belum merasakan bagaimana rasanya menjadi ibu hamil. Jadi masih termasuk ‘wajar’, karena kan biasanya kalau belum mengalami sendiri, cuma melihat dari luarnya saja, memang paling mudah mengeluarkan statement :mrgreen: . Tapi terlepas dari sudah/belum pernah merasakan menjadi ibu hamil/lansia/difabel/membawa anak kecil, ketika kita berada di situasi tersebut coba kita reframe deh, bagaimana jika seandainya kita yang berada di posisi mereka. Jadi ya kembali lagi ke kesadaran masing-masing saja. Rasanya kita tidak perlu menghakimi orang lain yang belum diberi hidayah atau kepekaan melihat lingkungan sekitar. Kalau memang kita di situasi yang sama masih merasa sehat/mampu/ikhlas/kuat bergantian tempat duduk dengan mereka yang patut mendapat prioritas, ya monggo diberikan. Kita tidak pernah tahu, karena bisa saja suatu saat nanti gantian kita yang berada di kondisi yang sama dengan mereka.

Satu hal lagi yang penting untuk diingat, berhati-hatilah memposting status di akun social media, sepribadi apapun settingan akun socmed kita. Kalau dulu kita mengenal adagium “mulutmu harimaumu”, sekarang di era social media ada istilah, “tweetmu harimaumu”, “postinganmu harimaumu”, “statusmu harimaumu”. Sekali saja kita menerbitkan postingan/status, dan lalu menekan tombol enter/publish, seketika itu juga orang lain akan melihat, membaca, mengomentari, dan bahkan menyebarluaskannya ke berbagai akun social media hingga ke batas yang tidak mampu kita tentukan. Itulah saat di mana kita kehilangan kendali terhadap efek apa yang akan timbul kemudian.

Sekalipun kita berkomunikasi secara tidak langsung di ranah maya, namun perlu diingat bahwa yang kita ajak berkomunikasi, yang membaca postingan dan status kita itu juga manusia. Mungkin saja kita tidak bermaksud buruk, namun toh akan selalu ada hal-hal yang diterima secara berbeda jika dilihat dari kacamata orang lain.

Bukan berarti kita tidak boleh mengeluarkan statement/opini, tapi apa salahnya jika lebih berhati-hati ketika akan mengeluarkan opini. Terlebih jika itu sifatnya pribadi dan mengandung hal yang sensitif bagi orang lain.

Just my two cents 😉

 

[devieriana]

 

gambar diambil dari twitternya @gantijakarta

Balada Dinda

Balada Dinda

gantian duduk

Beberapa waktu yang lalu hampir semua akun socmed, media cetak dan elektronik ramai membahas status Path seorang perempuan yang bernama Dinda, yang curhat tentang kekesalannya terhadap para ibu hamil yang (menurut dia) manja karena selalu minta dikasihani dan minta tempat duduk. Pertama kali saya membaca status ini di Path jujur saya merasa geli, trenyuh, sekaligus prihatin pada Dinda. Geli karena statusnya kok kekanakan sekali padahal sepertinya usia Dinda sudah lebih dari cukup untuk lebih peka terhadap lingkungan sekitarnya. Tapi, ah… bukannya usia bukan ukuran kedewasaan seseorang, ya? Trenyuh dan prihatin, lantaran dia sendiri seorang perempuan yang suatu saat juga akan merasakan menjadi seorang ibu hamil. Tapi kalau ditilik dari kelancarannya menulis status semacam itu di Path sepertinya Dinda ini masih muda, belum menikah, dan belum pernah merasakan menjadi ibu hamil 😀

Well, terlepas dari curhatan Dinda, saya punya cerita sendiri tentang suka duka menjadi ibu hamil dan transportasi publik. Saya merasakan sendiri bagaimana perjuangan menggunakan sarana transportasi umum ketika hamil. Kebetulan saya bukan tipikal orang yang suka merepotkan orang lain. Pun ketika naik transportasi umum. Kalau dikasih tempat duduk ya terima kasih, kalau enggak ya nggak apa-apa. Tingkat keikhlasan orang kan beda-beda, ya. Apalagi hidup di Jakarta. Jadi ya dimaklumi sajalah… *usap peluh*

Dulu, ketika hamil pertama kali, jarak antara rumah dengan tempat saya bekerja relatif dekat, dan sarana transportasinya pun sangat mudah. Tapi walaupun begitu, bukan hal yang mudah bagi seorang perempuan yang sedang mengandung untuk memaksakan diri berjejalan di halte untuk naik Transjakarta atau moda transportasi umum lainnya. Kalau saya memaksakan diri harus ke pool bus ya sepertinya kok agak buang-buang waktu dan tenaga ya, karena pool-nya lebih jauh dari jarak antara kantor dan rumah saya, sedangkan lokasi kantor saya ada di tengah rute mereka. Sering kali saya terpaksa mengalah menunggu sampai antrean halte agak berkurang supaya saya bisa berdiri lebih depan sehingga tidak terhimpit oleh penumpang lainnya yang tenaganya jauh lebih besar. Di dalam bus pun sering kali bangku prioritas untuk ibu hamil/lansia/difabel/ibu dan anak, sudah diduduki oleh penumpang yang tidak sedang dalam kondisi penumpang yang wajib diprioritaskan. Dan tipikal para penumpang yang sudah mendapatkan tempat duduk itu biasanya sama, (pura-pura) tidur sambil menyumpalkan earplug di telinga. Sekali lagi, beruntung waktu itu tempat tinggal saya dekat, jadi kalau terpaksa harus berdiri pun (insyaallah) masih kuat 😀

Di kehamilan saya yang sekarang ini kondisinya sangat jauh berbeda. Jarak antara tempat tinggal dan kantor saya relatif lebih jauh, waktu untuk menempuh perjalanan pun otomatis lebih panjang, apalagi pada kalau naik Transjakarta jurusan Harmoni-PGC yang jalurnya panjang dan macetnya luar biasa. Saya sering kali terpaksa menunggu antrean bus sedikit berkurang supaya bisa dapat tempat duduk. Tapi lama-lama saya menemukan jalur antrean khusus untuk kaum prioritas, jadi saya bisa naik bus sebelum penumpang reguler naik.

Semakin besar kandungan saya, semakin tidak memungkinkan bagi saya untuk menggunakan Transjakarta yang jumlah armadanya terbatas dan banyak penggemarnya itu. Beruntung akhirnya saya menemukan alat transportasi alternatif yaitu shuttle bus yang kini banyak disediakan oleh pengelola mall, sebagai sarana transportasi alternatif bagi para pekerja yang tinggal di luar kota, tapi bekerja di Jakarta. Lumayan aman dan nyaman, walaupun biayanya lebih mahal. Tapi demi kenyamanan, penghematan waktu dan tenaga, penggunaan moda transportasi ini sangat layak 😀

Jadi, kalau kembali lagi tentang status Dinda tadi, saya sangat memaklumi, karena memang Dinda ini belum merasakan bagaimana rasanya menjadi ibu hamil. Jadi masih termasuk ‘wajar’, karena kan biasanya kalau belum mengalami sendiri, cuma melihat dari luarnya saja, memang paling mudah mengeluarkan statement :mrgreen: . Tapi terlepas dari sudah/belum pernah merasakan menjadi ibu hamil/lansia/difabel/membawa anak kecil, ketika kita berada di situasi tersebut coba kita reframe deh, bagaimana jika seandainya kita yang berada di posisi mereka. Jadi ya kembali lagi ke kesadaran masing-masing saja. Rasanya kita tidak perlu menghakimi orang lain yang belum diberi hidayah atau kepekaan melihat lingkungan sekitar. Kalau memang kita di situasi yang sama masih merasa sehat/mampu/ikhlas/kuat bergantian tempat duduk dengan mereka yang patut mendapat prioritas, ya monggo diberikan. Kita tidak pernah tahu, karena bisa saja suatu saat nanti gantian kita yang berada di kondisi yang sama dengan mereka.

Satu hal lagi yang penting untuk diingat, berhati-hatilah memposting status di akun social media, sepribadi apapun settingan akun socmed kita. Kalau dulu kita mengenal adagium “mulutmu harimaumu”, sekarang di era social media ada istilah, “tweetmu harimaumu”, “postinganmu harimaumu”, “statusmu harimaumu”. Sekali saja kita menerbitkan postingan/status, dan lalu menekan tombol enter/publish, seketika itu juga orang lain akan melihat, membaca, mengomentari, dan bahkan menyebarluaskannya ke berbagai akun social media hingga ke batas yang tidak mampu kita tentukan. Itulah saat di mana kita kehilangan kendali terhadap efek apa yang akan timbul kemudian.

Sekalipun kita berkomunikasi secara tidak langsung di ranah maya, namun perlu diingat bahwa yang kita ajak berkomunikasi, yang membaca postingan dan status kita itu juga manusia. Mungkin saja kita tidak bermaksud buruk, namun toh akan selalu ada hal-hal yang diterima secara berbeda jika dilihat dari kacamata orang lain.

Bukan berarti kita tidak boleh mengeluarkan statement/opini, tapi apa salahnya jika lebih berhati-hati ketika akan mengeluarkan opini. Terlebih jika itu sifatnya pribadi dan mengandung hal yang sensitif bagi orang lain.

Just my two cents 😉

 

[devieriana]

 

gambar diambil dari twitternya @gantijakarta

Balada Dinda