Balada Panitia CPNS (2)

job interview 1

Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini, instansi tempat saya bekerja juga membuka kesempatan bagi siapa saja yang ingin menjadi PNS. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, seleksi penerimaannya dilakukan secara online, jadi semua calon pelamar memasukkan berkas lamarannya melalui web.

Dari sekian ribu berkas lamaran yang masuk tentu saja tidak semua lolos seleksi. Ada banyak berkas lamaran yang kurang memenuhi syarat. Seperti misalnya pelamar yang sengaja memasukkan berkas lamaran padahal IPK yang dimiliki kurang memenuhi syarat. Atau, ada yang sengaja memanipulasi usia supaya memenuhi syarat; padahal usia yang diperbolehkan untuk melamar adalah 26-30 tahun, atau minimal sudah lulus D-3 sampai S-2. Di sinilah ketelitian panitia diuji. Bukan sekadar percaya dengan apa yang diinput pelamar tapi juga harus meneliti kesesuaian usia yang diinput dengan berkas lainnya. Hal lain yang menyebabkan tidak lolosnya pelamar di seleksi administrasi adalah akreditasi universitas yang tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan yaitu A/B. Ada lho yang status akreditasi universitasnya kedaluwarsa selang beberapa hari sebelum mahasiswa itu wisuda. Duh, sayang banget… :(. Andai saja dia lulus sebelum status akreditasinya kedaluwarsa, itu masih bisa kami pertimbangkan untuk lolos seleksi. Nah, ini juga bisa jadi catatan khusus bagi universitas-universitas yang status akreditasinya belum diperpanjang padahal kedaluwarsanya sudah lama. Nggak kasihan sama mahasiswanya? Hal lainnya yang membuat tidak lolosnya calon pelamar di seleksi administrasi adalah jurusan yang dilamar tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan, misalnya: yang dilamar posisi Sekretaris, tapi latar belakang pendidikannya adalah seorang lulusan Tata Boga 😦

Kalau di tahun sebelumnya Tes Kemampuan Dasar dilakukan secara tertulis dan serentak di seluruh Indonesia, tahun ini Kementerian PAN dan RB memberikan dua opsi tes: manual dan Computer Asissted Test. Instansi tempat saya bekerja memilih untuk menggunakan opsi kedua. Penyelenggaraan tesnya dilakukan pada tanggal 16 – 18 Oktober 2013 di Gedung CAT lantai I, Badan Kepegawaian Negara. Sistem ini menurut saya lebih transparan, karena seluruh peserta langsung bisa mengetahui berapa skor yang diperoleh secara real time di mana seluruh pergerakan nilainya ditampilkan melalui layar besar yang diletakkan di depan pintu masuk gedung tempat tes berlangsung.

Selama kurang lebih setengah bulan menunggu, akhirnya para peserta yang diumumkan lolos TKD berhak mengikuti tahap selanjutnya yaitu Tes Kompetensi Bidang dan wawancara substansi. Khusus untuk sesi wawancara substansi, selama 2 tahun berturut-turut saya selalu kebagian mendampingi para peserta wawancara di Gedung Utama. Tapi tahun ini cukup mengesankan buat saya. Karena selain wawancaranya berlangsung sehari penuh, bahkan di hari pertama interview berlangsung hingga pukul 8 malam, selain itu durasi wawancara untuk masing-masing peserta lumayan lama; minimal 35 menit, maksimal 1 jam. Pffiuh! *usap peluh*

Kalau pewawancara di ruangan lainnya semakin sore staminanya (mungkin) semakin menurun dan tingkat kekritisan pertanyaan substansinya juga sudah tidak setajam di jam-jam awal, kalau di Gedung Utama justru sebaliknya; semakin sore/malam para pewawancara (yang salah satunya adalah Pak Sekretaris Kementerian) malah semakin on fire, durasi wawancaranya semakin lama, terbukti ada yang diwawancara hingga 1 jam lamanya. Kalau saja saya tidak sempat ngobrol dengan mereka di ruang tunggu, saya tidak akan tahu kalau peserta terakhir sesi wawancara hari pertama itu harus pulang ke Yogyakarta malam itu juga. Demi menyelamatkan tiket kereta yang sudah dibeli itu, saya mengirim pesan ke atasan saya untuk mengingatkan para pewawancara itu supaya tidak mewawancara mereka terlalu lama, karena peserta terakhir adalah seorang perempuan yang harus pulang ke Yogyakarta naik kereta api pukul 21.00 wib. Alhamdulillah berhasil! 😀 Psst, sebenarnya sih ini bukan cuma buat mereka saja, buat saya juga kali, karena malam itu panitia CPNS yang tersisa di kantor tinggal saya dan dua orang teman saja… 😥

Keunikan lainnya ada di hari kedua sesi wawancara di Gedung Utama. Kalau di hari sebelumnya wawancara berlangsung hingga malam hari, hari kedua alhamdulillah selesai hingga pukul 15.30 wib saja. Itu juga ‘terselamatkan’ oleh jadwal rapat; kalau tidak ada jadwal rapat mungkin bisa lebih dari itu. Bedanya lagi, kalau di hari sebelumnya jumlah pewawancaranya ‘cuma’ 5 orang, di hari kedua jumlah pewawancaranya menjadi 7-8 orang. Kalah ya sidang skripsi/thesis? :D. Kesamaannya, tingkat semangatnya sama dengan hari sebelumnya, durasinya juga masih sama, dan pertanyaan yang bersifat jebakan juga banyak :D.

Nah, ada yang lucu nih. Untuk mencairkan ketegangan para peserta yang masih menunggu giliran di ruang tamu Sesmen, saya masuk ruangan menemani mereka untuk sekadar mengobrol ringan. Tak disangka, di sela obrolan itu tiba-tiba ada yang bilang begini:

“Mbak, aku tuh silent reader blognya Mbak :D”

Mendadak speechless. Bukan GR atau apa, baru kali ini saya bertemu dengan orang di luar komunitas blogger yang pernah saya temui, yang ternyata mengikuti dan membaca blog saya.

“Hah? Kok kamu sampai tahu blog aku segala? :-o”

“Iya, aku sering blog walking, trus kesasar ke blognya Mbak. Mbak namanya Mbak Devi Eriana, kan? Blog Mbak alamatnya devieriana.com, kan?

 

Hahahahaha, saya jadi terharu :lol:. Ih, bisa gitu, ya? Ternyata mereka memang suka blog walking, dan ndilalah ternyata salah satunya adalah blog saya. Apalagi sejak mereka memutuskan untuk mengikuti tes CPNS di tempat saya bekerja. Mungkin mereka berharap menemukan sedikit clue seperti apa sih lingkungan tempat saya bekerja itu, siapa tahu di blog ini mereka menemukan tips dan trik ikut seleksi CPNS. Padahal… nggak ada… :mrgreen:

Kalau soal blog sih saya ambil sisi positifnya sajalah ya, kalau memang isi blog ini ada yang berguna buat orang lain ya alhamdulillah, tapi kalau nggak ya nggak apa-apa. Lha wong memang tujuan utama menulis di sini juga cuma untuk menulis tentang hal-hal keseharian dan sebagai sarana rekreasi buat saya saja kok 😀

Buat adik-adik yang kemarin ikut proses seleksi CPNS di instansi tempat saya bekerja, kalau ternyata pekerjaan yang kalian lamar ini ternyata berjodoh dengan kalian, semoga semua dilancarkan ya. Tapi kalau memang belum berjodoh tahun ini kalian bisa coba lagi tahun depan selama usia kalian masih memenuhi syarat. Atau siapa tahu sebenarnya ada pekerjaan lain yang jauh lebih baik buat kalian di luar sana. Who knows, kan? 😉

Have a good luck! 😉

 

[devieriana]

 

ilustrasi dipinjam dari sini

Balada Panitia CPNS (2)

Menulis saja…

shakespeare-blog-cartoon

Jujur, saya sering iri melihat teman-teman yang punya banyak kegiatan, punya banyak pengalaman yang berhubungan dengan banyak orang, punya pengalaman mengelola sebuah event, atau yang sering bepergian ke dalam negeri atau ke luar negeri entah itu untuk tujuan berlibur atau dalam rangka dinas. Hmm, sudah se-desperate itukah hidup saya sampai saya harus mengiri dengan kehidupan orang lain? Hehehe, bukan begitu 😀

Saya punya beberapa teman pramugari yang sering berbagi foto dan ceritanya di group whatsap/bbm. Foto-foto ketika dia singgah di sebuah kota/negara, ketika dia berkesempatan mampir di sebuah tempat tertentu, foto ketika dia menikmati suasana/makanan khas daerah yang disinggahi itu, menceritakan segala excitement pun kebetean yang dia rasakan pada kami. Intinya cerita tentang apapun. Irinya saya bukan karena iri kenapa saya tidak menjadi pramugari, tapi iri karena dia sebenarnya punya banyak cerita yang bisa ditulis di blog baik itu dalam bentuk foto atau tulisan ketimbang cuma di-share di whatsap/bbm dengan kami. Pengalamannya pergi ke banyak negara dan berbagai kota, bertemu dengan banyak orang, merasakan perubahan suasana dari satu tempat ke tempat yang lain, menikmati berbagai suguhan khas di sebuah kota/negara, merupakan sebuah pengalaman yang tidak semua orang berkesempatan mengalami.

Saya juga punya teman-teman yang sering terlibat dalam penyiapan sebuah acara/forum kegiatan internasional yang melibatkan para pemimpin negara. Buat saya itu juga menarik untuk diabadikan dalam sebuah tulisan, karena tidak semua orang bisa punya kesempatan mengelola sebuah kegiatan tingkat internasional, tidak semua bisa merasakan adrenaline rush ketika detik-detik penyelenggaraan acara sudah semakin dekat, tidak semua bisa merasakan bagaimana pusingnya mereka ketika ada masalah di lapangan dan bagaimana mereka harus segera mengambil keputusan supaya acara kembali berjalan normal.

Iya, saya tahu, sebenarnya ada banyak topik yang bisa menjadi bahan tulisan di blog. Tidak harus berawal dengan kejadian-kejadian besar nan epic. Banyak hal sederhana dari keseharian kita pun bisa dijadikan tulisan di blog. Sayanya saja yang sering kurang peka menangkap sebuah ide untuk dijadikan topik tulisan, lebih sering beralasan, “belum ada ide nulis, nih”. Sayangnya teman-teman saya yang punya banyak kejadian menarik tadi juga belum tertarik untuk mengabadikan semua kegiatannya itu ke dalam bentuk tulisan dengan alasan tidak ada waktu, sibuk, ribet, dan alasan “aku nggak tahu harus mulai menulis dari mana”.

Seperti halnya usia manusia yang punya batas, usia profesi pun ada batasnya. Kita tidak selamanya akan berada di posisi yang sama dan mengerjakan pekerjaan yang sama, ada saatnya kita mungkin berpindah tempat kerja, menjalani pekerjaan yang berbeda dengan sebelumnya, dan mengalami hal-hal baru lainnya. IMHO, sebuah blog/photoblog bisa jadi sarana untuk mendokumentasikan semua kegiatan mereka kelak ketika mereka sudah tidak lagi aktif terlibat dalam pekerjaan/kegiatan itu.

Sama seperti seorang teman yang mendokumentasikan semua proses hidupnya sejak dia masih single, menikah, hamil. detik-detik melahirkan, hingga akhirnya sekarang si kecil sudah bisa berlarian ke sana ke mari. Semua sengaja direkam rapi olehnya dalam bentuk tulisan. Alasannya:

“Aku kan bukan public figur yang otobiografinya bisa dibaca oleh siapa saja, Devi. Salah satu tujuanku nulis di blog ya biar aku punya dokumentasi hidup. Biar nanti kalau anak-anakku sudah gede, sudah bisa baca, mereka bisa lebih tahu/kenal mamanya lewat blog. Mereka bisa baca gimana kehidupan mamanya sebelum mereka ada. Gimana kehidupan setelah kedua orangtua mereka menikah. Gimana kehidupan setelah mereka ada dan apa saja perubahannya. Sederhana saja, aku pengen punya biografi online yang bisa dibaca sama anak-anakku kelak. Syukur-syukur kalau ternyata ada topik yang berguna buat pembaca yang lain. Itu juga kalau ada… :lol:”

Sama seperti dia, awal mula saya menulis di blog selain ingin menyalurkan kelebihan energi dan ide yang sering berlompatan di kepala, alasan lainnya karena ingin punya dokumentasi tentang apa yang sempat terjadi di hidup saya, kegiatan apa saja yang pernah saya lakukan, dan apa saja yang pernah saya pikirkan di suatu waktu. Yah, walaupun tidak semua hal sempat saya ingat dan bisa langsung saya share dalam tulisan. Tapi inti mengapa saya menulis di blog adalah karena waktu tidak bisa ditarik ke belakang, dan otak punya kapasitas memory yang terbatas untuk menyimpan dan mengingat semua hal.

Ada juga yang menarik dari hasil ngobrol dengan seorang teman dalam perjalanan pulang beberapa hari yang lalu,

“Aku sering baca blog kamu, dan itu bikin aku jadi menyesal. Menyesal kenapa aku nggak menulis sejak dulu. Ada banyak kejadian luar biasa dalam hidupku beberapa waktu ini baik dari segi pekerjaan atau pribadi. Tapi aku lebih sering melewatkan itu karena bingung sendiri, aku harus menulis topik yang mana dulu? Gimana cara mengawalinya? Lagi pula kejadiannya sudah terlanjur terlewat jauh.”

Tidak ada kata terlambat asalkan kita mau. Kalau mau memulai menulis ya sudah menulis saja. Topik yang mana dulu? Ya mana saja yang paling diingat. Tidak ada aturan yang mengharuskan seseorang menulis di blog itu harus begini/begitu. Tidak ada peraturan yang mewajibkan sebuah postingan di blog itu reverse atau chronological. Mau menulis saat itu juga dan langsung di-publish, silakan. Atau mau di-back date biar tulisannya terkesan aktual sesuai dengan waktu kejadian? Monggo. Atau kalau sedang banyak ide dan ingin disimpan dulu untuk di-publish nanti (scheduled post)? Tidak ada yang melarang kok. Bebas! 😀

“And by the way, everything in life is writable about if you have the outgoing guts to do it, and the imagination to improvise. The worst enemy to creativity is self-doubt.”
— Sylvia Plath —

 

[devieriana]

 

Ilustrasi dipinjam dari sini

Menulis saja…

Bukan Jakarta kalau…

traffic-jam

…nggak macet!

———-

Demikian seloroh klasik hampir semua orang yang mengomentari betapa macetnya lalu lintas di Jakarta. Seolah ingin menggambarkan bahwa macet dan Jakarta adalah dua buah kata identik yang sudah lumrah dan jamak. Kalau Jakarta sepi, lengang, seperti halnya suasana beberapa hari menjelang Lebaran malah aneh, karena Jakarta itu terlanjur identik dengan macet.

Sudah hampir sepekan ini Jakarta dilanda kemacetan yang luar biasa parahnya. Bukan hanya dirasakan oleh pengguna kendaraan pribadi saja, tapi juga dirasakan oleh seluruh pengguna jasa layanan angkutan umum. Tingginya volume kendaraan yang melintas makin memperburuk kondisi lalu lintas, belum lagi cuaca hujan hingga menyebabkan banyaknya genangan di beberapa ruas jalan, makin memperparah kondisi lalu lintas di ibu kota tercinta ini.

‘Penderitaan’ yang dirasakan bukan hanya kaki yang pegal-pegal karena terlalu lama berdiri, dan waktu yang terbuang di jalanan lebih lama, tapi juga bahan bakar yang terhambur jadi lebih banyak, ditambah dengan ke-BT-an tingkat tinggi yang menyergap hampir semua yang terjebak di kemacetan. Sepertinya orang yang hidup di Jakarta itu harus punya stok kesabaran, ketabahan, dan daya tahan tubuh yang luar biasa untuk berjuang menghadapi kemacetan setiap harinya.

Bayangkan, dengan kondisi fisik dan psikis yang lelah karena sudah seharian beraktivitas di kantor masih harus ditambah dengan lamanya waktu tempuh menuju rumah yang lebih lama. Sesampai di rumah pun cuma sempat istirahat ala kadarnya, karena besok paginya harus bangun lebih awal, dan kembali berkejaran dengan waktu supaya tidak terlambat di kantor.

Beruntung hari Jumat kemarin saya memutuskan untuk pulang tepat waktu, sehingga antrean di halte Transjakarta belum terlalu padat, masih dapat tempat duduk, begitu pula level kemacetan jalan raya masih dalam batas ‘wajar’. Level wajar di sini maksudnya kendaraan masih bisa jalan di tengah kemacetan, tidak sampai stuck dan berhenti dalam waktu yang lama. Di saat saya sudah leyeh-leyeh di rumah, di twitter dan status bbm teman-teman saya bermunculan keluhan terjebak kemacetan di mana-mana,  ada yang keluar kantor pukul 16.15 tapi sampai di rumah hampir pukul 22.00 WIB, bahkan ada yang menjelang pukul 24.00 WIB! Epic, ya? 😐

Banyak orang yang ‘menyalahkan’ makin macetnya Jakarta akhir-akhir ini salah satunya disebabkan karena adanya sterilisasi jalur busway. But, hey… bukankah macetnya Jakarta bukan baru terjadi sehari dua hari ini? Toh, meski sudah ada peraturan tentang sterilisasi jalur busway nyatanya masih banyak juga kendaraan yang masuk ke jalur busway, apalagi ketika jalur jalanan normal sudah sangat padat, satu-satunya ‘alternatif’ untuk bisa tetap jalan ya masuk ke jalur busway. Oh ya, satu lagi. Trotoar. Pffft!

Kondisi seperti itu sih masih ‘mending’. Bagaimana kalau misalnya Transjakarta mengalami trouble di tengah jalur karena mesinnya tergenang air/mati, sementara itu di belakang bus berderet antrean kendaraan yang bermaksud mengambil kesempatan jalur bebas hambatan. Mau tidak mau mereka ikut berhenti total karena beberapa separator busway yang sengaja dibuat tinggi itu tidak memungkinkan mereka untuk memotong jalur seperti dulu. Tidak ada jalan lain selain ikut pasrah menanti hingga Transjakarta selesai diperbaiki. Nah, makin PR lagi, kan?

Tapi beruntung kemarin saya tidak coba naik angkutan alternatif yaitu shuttle bus. Memang sedikit agak lama menunggu shuttle bus itu lewat di Sudirman, tapi daripada saya terjebak di halte Harmoni selama berjam-jam karena ternyata Transjakartanya tidak beroperasi untuk sementara waktu lantaran banjir di sekitar Kampung Melayu, yah well… saya diam-diam bersyukur, walaupun sampai rumah hampir pukul sembilan malam 😐

Jadi ingat beberapa baris kalimat dari Seno Gumira Ajidarma dalam salah satu tulisannya yang bertajuk Menjadi Tua di Jakarta,

“Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa”

Soal bertahan hidup di Jakarta, menjadi Homo Jakartensis, menjadi sosok-sosok yang mengembara dalam pencarian, sebenarnya cuma masalah pilihan. Kalau ternyata masih kuat bertahan hidup di sini ya silakan dilanjut dengan segala konsekuensinya. Tapi kalau sudah tidak kuat ya silakan lambaikan tangan ke kamera… :mrgreen:

Btw, kapan ya jalanan di Jakarta suasananya mirip seperti car free day setiap harinya?
*tidur lelap*

 

[devieriana]

ilustrasi dipinjam dari sini

Bukan Jakarta kalau…

Pilih mana?

career-choices-2

Di sebuah pagi, saya mengetik pesan di smartphone sambil sesekali menyesap secangkir teh poci di kantin,

“Bro, lagi di mana, Bro?”

“Hahaha, aku lagi di kementerian anu, lagi nunggu giliran :D”

“Giliran? Maksudnya kamu lagi ada kerjaan di sana?”

“Nunggu giliran buat ikut test CPNS, sesiku masih nanti, jam 09.40. Hihihik… Doain yak!”

Saya yang awalnya ingin menanyakan hal yang lain, jadi surprise sendiri. Bukan
apa-apa, selama ini saya mengenal dia sebagai sosok yang paling anti sama hal yang berbau tes CPNS-CPNS-an, di setiap kalimat yang keluar dari bibirnya sama sekali tidak tergambar keinginan untuk menjadi seorang PNS. Pokoknya emoh ajalah. Nah, kalau tiba-tiba mendengar dia ikut test CPNS ya jelas heran. Ada angin apa kiranya sehingga dia tertarik untuk ikut tes CPNS?

Peserta ujian CPNS itu dari berbagai kalangan, kalau bukan fresh graduate, yang belum bekerja sama sekali, atau yang sudah bekerja. Motivasinya pun bermacam-macam, ada yang cuma iseng, ingin mencoba kemampuan/peruntungan, tapi banyak juga yang memang serius ingin cari kerja.

Seperti beberapa waktu yang lalu, saya dicurhati seorang teman via email. Dia mengaku sedang galau karena ‘terjebak’ dalam excitement akan diterima sebagai CPNS di salah satu kementerian (sudah sampai tahap interview user). Tapi uniknya di saat yang sama dia masih sangat nyaman dengan posisi dan lingkungan tempat dia bekerja sekarang. Bermula dari iseng dan sekadar ingin mengukur kemampuan diri sendiri secara rutin dia mengikuti tes CPNS selama 3 tahun berturut-turut. Hingga akhirnya tahun ini dia dinyatakan lolos seleksi Tes Kemampuan Dasar dan berhak ikut tahap selanjutnya. Melihat pengumuman itu mendadak dia galau sendiri; galau membayangkan bagaimana kalau setelah dijalani ternyata menyandang status sebagai PNS itu tidak sesuai dengan harapan dan jiwanya. Bagaimana kalau ternyata menjadi PNS itu pekerjaannya jauh lebih membosankan dibandingkan dengan pekerjaannya sekarang; dan banyak lagi ‘bagaimana-bagaimana’ lainnya. Ya wajar sih, karena di dalam mindset-nya PNS masih identik dengan birokrasi yang ribet, mengurus apa-apa sulit, belum lagi dari segi materi dan budaya kerja yang menurut dia masih kalah jauh dari swasta.

Kita sederhanakan saja, sebenarnya semua pekerjaan itu pasti ada sisi positif dan negatifnya; tergantung dari sisi mana kita melihat, kan? Begitu juga dari segi tantangan kerja dan pendapatannya. Kalau orang Jawa bilang, “urip kuwi sawang sinawang”, cuma melihat kulit luarnya saja…
*benerin blangkon*

Tapi ada kalanya kita butuh move on ketika pekerjaan yang sekarang dirasakan kurang memberikan kenyamanan, atau kita butuh pengalaman yang jauh lebih menarik/menantang, atau kita butuh pengembangan karir yang lebih signifikan. Ya kenapa tidak? Mungkin ini saatnya kita mengajukan pengunduran diri. Banyak kok yang sudah enak kerja di swasta, malah resign dan jadi PNS atau berwiraswasta. Pun sebaliknya, ada yang awalnya jadi PNS lalu resign dan melamar kerja di perusahaan swasta/BUMN karena katanya lebih sesuai dengan jiwanya.

Pekerjaan itu seperti jodoh; cocok-cocokan. Awal mula saya menjadi PNS juga sempat stress sendiri karena harus merasakan perubahan yang sangat drastis; baik secara lingkungan, sistem kerja, gaji, budaya kerja, dan lain-lain. Soal pindah tempat kerja memang bukan hal baru buat saya, tapi karena kebetulan bidang pekerjaan yang saya isi sebelumnya masih saling berkorelasi jadi penyesuaiannya tidak terlalu sulit.

Soal cocok-cocokan tadi, kalau memang setelah dijalani ternyata pekerjaan itu dirasa kurang nyaman, kurang ada tantangannya, atau karirnya dirasa kurang berkembang, ya sudah, tinggal mengajukan surat pengunduran diri saja. Atau, kalau ternyata yang di dalam mindset kita kisarannya masih di besaran gaji, ya mungkin inilah saat yang tepat untuk berkarir di sektor swasta karena jelas lebih menjanjikan pendapatan yang lebih besar daripada menjadi PNS. Seperti yang pernah saya tulis di sini 😉

Jadi, gimana? Masih galau? 😀

 

[devieriana]

ilustrasi dipinjam dari sini

Pilih mana?