Jangan jadi PNS!

Beberapa hari yang lalu saya menerima pesan dari teman di twitter, minta waktu buat ngobrol katanya. Ya, berhubung saya lagi santai ya saya layani. Obrolan via BBM itu pun berlangsung “gayeng”, santai & akrab. Maklum dia memang salah satu teman lama tapi terbilang jarang ngobrol sama saya.

Intinya dia mengajak diskusi tentang pekerjaan. Kebetulan dia seorang karyawan swasta yang bekerja di salah satu perusahaan asing terkemuka di Jakarta. Pertanyaan pertama telak, masalah gaji. Kalau ditanya masalah pendapatan besar atau kecil pasti jawabannya adalah relatif. Saya tidak bilang gaji saya besar atau kecil, tapi alhamdulillah cukup (setidaknya buat saya). Karena berapa pun pendapatan kita kalau pengeluaran & kebutuhan hidup kita juga membutuhkan biaya yang besar ya pasti akan merasa kurang. Itulah kenapa saya jawab : alhamdulillah, cukup.

Dia seorang pria, single, dan akan menikah. Sekarang ini sedang mempertimbangkan untuk pindah kerja dengan syarat gajinya paling tidak sama besar dengan tempat kerjanya sekarang, pekerjaannya tidak terlalu hectic, dan waktu luangnya banyak. Waduh, sempat puyeng juga saya ketika dimintai pendapat. Kalau tempat kerja yang seperti itu adanya dimana ya? :-?. Ya, jadi bos saja, buka usaha sendiri, wiraswasta gitu :).

Dia juga sempat heran kenapa saya pindah dari tempat kerja saya yang lama dan memilih berkarir memilih berkarir sebagai PNS. Apakah gaji sebagai PNS lebih besar dari tempat kerja saya yang sebelumnya? Karena dia justru sedang ingin pindah ke perusahaan tempat kerja saya yang lama. Tapi dia jadi mikir lagi ketika tahu saya pindah, jangan-jangan karena beban kerjanya terlalu tinggi, gajinya sedikit, atau ada sebab lainnya apa. Aduh, asli saya jadi mikirnya kok dia naif banget ya. Karena yang namanya kerja dimana-mana itu ya pasti ribet. Soal gaji besar/kecil itu sifatnya relatif, ada tunjangan apa saja buat karyawannya ya itu tergantung kebijakan yang punya perusahaan. Kalau soal waktu ya itu pinter-pinternya kita menyiasatinya saja, ya kan?

Saya jadi PNS itu sebenarnya tidak sengaja, seperti cerita saya disini. Kalau saja saya tidak ikut seleksi CPNS ya mungkin sampai sekarang saya masih di kantor yang lama, berkutat dengan quality assurance, hectic bikin laporan,  menangani komplain ketidaksesuaian penilaian, melakukan assuring hasil kerja anak buah saya, ribet melakukan coaching dan konseling ke anak buah.

Sekarang gini, ini sekedar sharing ya. Tujuan bekerja memang salah satunya adalah mencari gaji/pendapatan. Gaji besar dengan iming-iming status jabatan tertentu dan tunjangan ini itu pasti  jadi magnet terbesar para pencari kerja. Iya dong, buat apa kerja kalau tidak ada hasilnya, kan? Tapi apa iya lantas semua dipukul rata bekerja cuma dilihat dari besaran gaji yang diterima saja? Bagaimana kalau gaji besar tapi kompensasinya harus dibayar dengan berkurangnya waktu untuk diri sendiri dan keluarga, beban kerja yang tinggi, ditambah dengan fisik yang kelelahan. Kalau ada yang berpendapat, “kalau memang konsekuensi tugas dan tanggung jawab pekerjaan ya harus dijalani dong..”. Ok, mungkin ada yang rela hidup seperti itu, tapi ketika sudah berkeluarga nanti pasti ada orientasi-orientasi yang akan berubah, bukan lagi cuma materi yang dikejar, tapi pasti akan mempertimbangkan quality time bersama keluarga.

Dia lalu tanya lagi apakah THP (take home pay) saya masuk 2 digit? Saya lagi-lagi cuma bisa tertawa :)). Ya buat saya itu lucu. Bayangkan ya, untuk CPNS macam saya kok sudah punya gaji dua digit? Ini niat nanya apa ngasih tebakan? :-?. Masuk akal nggak sih kalau belum apa-apa gaji saya sudah menyamai gajinya deputi? Semua pasti ada aturan dan standarnya dong, Mas.. 🙂

Teman : tapi standar gaji staf di tempat kerja lama kamu dua digit lho, Dev..

Saya : bentar, aku tanya sama kamu. Tempat kerjaku yang lama itu swasta apa negeri?

Teman : ya 50-50, kan yang 50% dikuasai oleh Singtel

Saya : status pegawainya swasta atau PNS?

Teman : errr.. swasta

Saya : lha ya sudah, kenapa kok kamu membandingkan standar gaji swasta sama negeri? Ya jelas beda dong. Kalau mau membandingkan ya apple to apple. Jangan apple to durian. Bonyoklah ;))

Teman : tapi kelebihan pekerjaanmu yang sekarang nggak ada PHK mendadak ya, Dev. Beda sama kalau jadi pegawai swasta, isinya ketar-ketir melulu..

Saya : ya semua pekerjaan itu pasti ada segi positif dan negatifnya. Semua pasti punya resiko, tinggal gimana kita menjalaninya aja sih..

Teman : ya udah, aku nitip info kalau-kalau ada informasi kerjaan yang sesuai sama spesifikasiku ya..

Saya  : mmh, yang waktunya lebih luang, kerjaan nggak terlalu overload, dan yang penting gajinya sama dengan tempat kerjamu sekarang ya? ;))

Teman : hihihi, iya.. Kalau pakai ijazah S2 gimana? bisa?

Saya : apanya? dapet gaji 2 digit?

Teman : iyaa.. :))

Saya : bentar deh, tuntutan-tuntutan itu tadi untuk standar cari kerjaan di swasta apa PNS sih? 😦

Teman : ya aku maunya di departemen atau BUMN gitulah..

Saya : jadi, pengen jadi PNS?

Teman : ya aku maunya sih kaya begitu.. Tapi kan aku nggak tau rejekiku dimana.. Ya, nitip ajalah, kalau ada info-info yang sesuai dengan kualifikasiku ya..

Saya : woogh, nyarinya dimana ya PNS yang kaya begitu.. #-o

Jadi saran saya ya, selama orientasinya masih berkutat di besaran gaji, mending jangan jadi PNS deh, apalagi yang baru jadi CPNS minta gajinya langsung dua digit ;)). Karena semua orang juga tahu gaji PNS masih kalah jauh dengan gaji pegawai swasta lho ;). Kalau mengumpulkan materi mending kerja di swasta dulu, bisa sembari menabung kan? Nah nanti kalau sudah bosan dan ingin punya lebih banyak waktu dengan keluarga sambil nyambi buka usaha dirumah boleh deh jadi PNS (eh, keburu tua nggak sih?) ;)).

Semua pekerjaan pasti ada plus minusnya, tidak mungkin ada pekerjaan yang semuanya sesuai dengan keinginan kita. Apalagi kena kata-kata “urip iku sawang sinawang”, rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau. Melihat si A kerja disitu kok kayanya enak, ikutlah kita kerja satu perusahaan dengan si A. Tapi ketika sudah dijalani baru merasa ternyata kerjaan si A tidak seindah yang kita bayangkan, sama hectic-nya dengan pekerjaan kita yang sebelumnya :-o.

Rezeki itu sudah ada yang mengatur, pun halnya dengan pilihan karir. Soal mau berkarir sebagai pegawai swasta atau pegawai negeri tinggal memilih mana yang paling sesuai dengan hati nurani kita, mana yang lebih sreg untuk dijalani. Memilih pekerjaan itu sama seperti memilih jodoh, semuanya kembali ke masalah hati 🙂

Oh ya, tadi pagi saya menemukan link bagus untuk sekedar dibuat baca-baca tentang How to find a job you will love . Semoga bermanfaat ya :-bd

[devieriana]

ilustrasi dari sini

Jangan jadi PNS!

Disana, dahulu kala ada negara yang bernama Indonesia

Sebelummya saya ingin bilang kalau saya suka sekali dengan kutipan kata-kata dalam ilustrasi diatas :

“we are poor in the rich country”

“Ask what you can do for your country?”

Indonesia, “unity in diversity”

“What we have to do is to have these differences blend us together in perfect harmony like the beautiful spectrum of the rainbow”

Sebuah tema yang menarik untuk diulas. Mengingat akhir-akhir ini banyak sekali berita miris yang merujuk pada kerusuhan-kerusuhan berbau SARA dan kasus-kasus yang memicu konflik kekerasan lainnya. Kebetulan tulisan ini saya buat untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti Diklat Prajabatan bulan Mei-Juni 2010 kemarin. Sesuai janji saya waktu itu, akhirnya tulisan ini saya posting disini 😀 .

Dalam materi Wawasan Kebangsaan itu si bapak widyaiswara (nama lain untuk jabatan trainer) memberikan tugas tertulis dengan tema global : “Disana, dahulu kala ada negara yang bernama Indonesia”, selanjutnya kami diminta untuk membuat sebuah tulisan singkat yang mendeskripsikan tentang tema terkait. Terserah bagaimana kita akan mengembangkan tulisan itu, apakah nantinya ditulis dalam bentuk prosa atau puisi. Saya memilih untuk menjadikannya dalam bentuk prosa (cerpen, fiksi).

—–

Di suatu sore yang gerimis, di sebuah kamar apartemen mewah di pusat kota New York, seorang ibu muda terlihat berbincang akrab dengan seorang bocah lelaki kecil berusia sekitar 10 tahun. Mereka tampak akrab, sambil sesekali diselingi canda ringan keduanya. Sebagaimana karakter seorang anak kecil seusianya si bocah tampak begitu antusias mengeksplorasi apapun yang ada di sekelilingnya.

Sang ibu dengan sangat sabar menjawab semua pertanyaan putra semata wayangnya itu. Sambil sesekali mengusap kepala sang buah hati yang sibuk bertanya ini itu seraya menjelaskan dengan gaya bahasa yang mudah dicerna untuk ukuran anak seusianya.

Ah ya, tampaknya sekarang mereka tengah membahas tentang negara-negara di dunia. Sebuah buku peta tua bersampul kulit warna coklat tua terbuka di karpet tempat mereka menghabiskan waktu petang itu. Mirko, demikian nama bocah lelaki kecil itu kerap disapa, tampak kagum dengan segala yang diceritakan sang ibu. Namun mendadak sang ibu tertegun tatkala membuka selembar halaman yang bergambar sebuah negara kepulauan. Mirko menatap ibunya sungguh-sungguh, sambil bertanya :

“ Ibu, kenapa ibu terlihat sedih? Ada apa, Bu?”

Sang ibu tampak tak segera menjawab. Diam-diam sebulir airmata mengalir di pipinya. Dia terisak lirih sambil berusaha tersenyum. Dia tak ingin terlihat sedih di depan anak semata wayangnya itu. Tapi mungkin inilah saat yang tepat untuk mulai menceritakan kepada Mirko apa yang menjadi sumber rasa sedihnya itu.


“Ibu hanya sedang teringat sesuatu. Sesuatu yang membuat Ibu sangat sedih. Teringat akan mendiang kakek & nenek ibu. Mereka eyang buyutmu..”

“Kenapa? Apa yang terjadi dengan mereka? Dimana mereka sekarang?”

“Mereka memang sudah meninggal, sayang. Mereka tinggal sangat jauh dari sini. Mereka dulu tinggal di sebuah negara yang bernama Indonesia..”

“Indonesia? Dimanakah itu? Apakah Indonesia itu berada di Amerika? Los Angeles? New York? Nebraska?”, tanya Mirko bertubi-tubi.

Wanita itu tersenyum. Dielusnya kepala sang buah hati, dan dipeluknya penuh rasa sayang. Matanya menerawang jauh, ke puluhan tahun silam. Peta itu seolah membangkitkan kembali kenangan suram masa kecilnya yang telah terkubur dalam-dalam bersama cerita tentang negara nenek moyang yang sangat dicintainya itu.

“Dahulu, waktu Ibu masih kecil, Ibu pernah tinggal sebentar di Indonesia bersama kedua orangtua ibu, iya kakek & nenek kamu. Kami sering melewatkan waktu liburan bersama-sama ke Yogyakarta tempat eyang buyutmu berasal. Tapi tak jarang kami juga melakukan traveling ke berbagai daerah lain di Indonesia. Indonesia itu sebuah negara kepulauan yang indah, sayang. Terdiri dari ribuan pulau dengan kekayaan alam & budaya, serta keramahan penduduk yang luar biasa. Ibu sangat menikmati masa-masa itu..”

“Ibu, bawa aku kesana. Aku juga ingin melihatnya. Kelihatannya menyenangkan..”, rajuk Mirko sambil menarik lengan ibunya.

Sang ibu menghela napas panjang, “sayang sekali, Nak. Kita sudah tidak akan pernah bisa lagi berkunjung ke Indonesia. Karena negara itu sudah lama tidak ada..”. Si kecil tampak begitu penasaran, “Hah, sudah tidak ada? Apa maksud ibu?”.

Kembali dengan sabar sang ibu menjelaskan :

“Ya, Indonesia sudah runtuh bersama kenangan terakhir masa kecil ibu disana, Nak. Tak lama setelah eyang buyutmu meninggal, terjadilah kerusuhan yang luar biasa di Indonesia. Negara kepulauan itu sibuk dengan berbagai program dan usaha untuk memerdekakan diri masing-masing, sibuk membentuk negara-negara kecil. Kami sekeluarga yang waktu itu masih ingin menjalankan usaha warisan eyang buyutmu tak mampu berbuat apa-apa. Hampir setiap hari terjadi kerusuhan dan penjarahan dimana-mana, seluruh tempat usaha kami habis dibakar massa. Orang-orang yang tidak mendukung pembubaran negara Indonesia dipaksa untuk meninggalkan Indonesia secepatnya, kecuali mereka memilih untuk menjadi warga negara pulau tertentu. Kami terlalu cinta Indonesia yang seutuhnya, kami tidak ingin memilih salah satu negara bentukan dari negara kepulauan itu. Tapi apa daya, kami tak mampu berbuat apa-apa. Terjadilah eksodus besar-besaran. Sampai akhirnya kami memutuskan untuk tidak memilih negara manapun dan tinggal disini..”

Batinnya terasa perih ketika menceritakan kembali cerita itu. Hanya mampu bergumam lirih sembari menerawang jauh. Ya, anakku.. disana, dahulu kala ada negara yang bernama Indonesia yang kini telah tercerai berai. Ibu merindukan suasana masa kecil ibu waktu itu. Rindu saat-saat ketika Ibu masih bisa merasakan hangatnya matahari tropis Indonesia, merasakan uniknya cita rasa masakan Indonesia, menikmati keberagaman budayanya, menikmati hamparan cantiknya alam Indonesia. Negeri indah dimana ibu pernah memimpikan akan membangun keluarga & menghabiskan hayat ibu disana.

Wanita itu menyusut airmatanya dengan secarik tissue. Inilah saat kembali dia begitu merindukan bekas tanah airnya yang kini bernasib entah seperti apa.

Ah, andai saja dulu semuanya tak pernah terjadi, mungkin Indonesia sudah menjadi negara besar sekarang ini..

—–

Btw, tugas ini ditulis malam hari menjelang besoknya dikumpulkan, ngantri komputer di ruang komputer sama temen-temen, gara-gara nggak bawa laptop. Jadi penasaran saya bikin tugas ini dikasih nilai berapa ya sama si Bapak? ;))

[devieriana]

gambar dipinjam dari sini

Disana, dahulu kala ada negara yang bernama Indonesia

Kartu lebaran, nasibmu kini..

Saya : Dek, Papa/Mama tahun ini dapet kiriman kartu lebaran nggak?
Adek : Nggak tuh. Kenapa mbak?
Saya : Mmh, samasekali?
Adek : Iya. Emang kenapa? kamu mau ngirim?
Saya : Nggak, cuman nanya aja..
Adek : ih, nggak penting :p

Dalam beberapa waktu ini pasti kita juga merasakan mulai punahnya kartu lebaran yang sepertinya makin tergusur oleh kemajuan teknologi. Kalau dulu kartu lebaran masih menjadi favorit yang dinanti-nanti saat menjelang lebaran, sekarang.. boro-boro. Terima satu kartu saja rasanya sudah merupakan kemewahan tak terhingga 😀

Beberapa tahun yang lalu, moment menjelang lebaran adalah saatnya “panen” bagi penjual kartu lebaran, karena di saat-saat menjelang lebaran seperti itulah saatnya semua orang berbondong-bondong memborong kartu-kartu lebaran. Mulai yang desainnya sederhana, lucu, sampai yang mewah & rumit semua ada. Mulai yang didesain oleh mesin/komputer sampai yang handmade juga banyak. Mulai yang harganya murah meriah sampai yang belasan bahkan puluhan ribu juga ada. Mulai yang dijual di kaki lima sampai yang di toko-toko besar pun juga tersedia.

Dulu saya sengaja menyediakan dana khusus untuk membeli kartu-kartu lebaran yang akan saya kirim ke teman/sahabat atau (uhuk!) pacar ;;). Sering juga mengoleksi kartu-kartu lebaran yang bagus dalam kotak tersendiri yang suka saya baca-baca lagi kalau sedang senggang. Suka banyak-banyakan terima kartu lebaran sama adik-adik saya. Suka mengoleksi perangko-perangko di amplop yang kebetulan saya belum punya. Sekarang memang masih ada yang menjual kartu lebaran, tapi jumlahnya pasti sudah tidak sebanyak dulu. Itu pun juga (sepertinya) jualan stock sisa-sisa tahun lalu yang disimpan & dikeluarkan lagi dengan pemikiran “mungkin saja ada yang akan membeli..” :(.

Tak bisa dipungkiri memang kalau kemajuan teknologi yang mulai populer sekitar awal tahun 2000-an itu mau tak mau mulai menggeser keberadaan hal-hal yang sifatnya manual, termasuk salah satunya berkirim kartu lebaran via pos. Kita jauh lebih mengandalkan penggunaan internet & alat komunikasi sebagai alat pengiriman berita termasuk ucapan selamat lebaran (e-card) karena jauh lebih praktis & tidak memakan waktu. Apalagi bagi yang punya akun di beberapa social media, jauh lebih memaksimalkan penggunaannya dengan melakukan spread greeting kepada teman-teman yang ada dalam akunnya tersebut. Tahun lalu saya berkali-kali terpaksa remove tagging foto ucapan selamat berlebaran. Bukan apa-apa, wall-nya jadi penuh :(. Saya lebih menghargai yang mengucapkan secara pribadi daripada yang sistem borongan 😀

Mengirim sms/mms sekarang bisa terkirim dengan sangat lancar tanpa ada kendala tunda akibat terlalu banyaknya yang mengirim sms/mms di saat yang bersamaan, bisa dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu. Kita kirim dari jam berapa, tersampaikannya jam berapa :-w. Bisa jadi sekarang memang operator telepon seluler menambah kapasitas handling sms/mms sehingga mencegah tertundanya pengiriman sms/mms tersebut, atau bisa juga karena yang mengirim sms lebaran jumlahnya tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya. Kalau yang sekarang menggunakan Blackberry pasti menggunakan fasilitas Blackberry Messenger untuk menyebar ucapan selamat berlebaran.

Sekarang eranya memang serba teknologi karena jauh lebih cepat & praktis. Tapi ketika teknologi sudah merajalela seperti sekarang tak dipungkiri ternyata ada “feel” yang hilang & dirindukan. Rindu sibuk memilih & membeli beberapa kartu lebaran untuk kerabat. Rindu saat-saat datangnya pak pos yang menyampaikan kartu lebaran. Rindu dispesialkan dengan dikirimnya kartu lebaran yang khusus ditujukan untuk kita. Rindu saat-saat pending sms & girangnya hati ketika pesan terkirim (eh, kalau ini rindu apa gemes? ;))). Terlepas dari apapun media yang dipergunakan, yang lebih penting memang adalah esensi & ketulusan kita ketika mengucapkannya.

Andai tradisi mudik lebaran juga bisa dilakukan via kemajuan teknologi mungkin tak perlu lagi ada antrian panjang & berjubelannya orang di stasiun, bandara, dan pelabuhan ya. Tak perlu lagi ada kemacetan arus mudik & balik di jalanan. Yang lebih penting lagi bisa menghadirkan seluruh keluarga besar hanya dengan satu kali click.

Sent!
8->

[devieriana]

Kartu lebaran, nasibmu kini..

Obrolan Absurd

Eh, hai.. sudah pada masuk kantor lagi atau masih cuti? Hari ini hari pertama saya masuk kerja lagi setelah libur sejak tanggal 9 September 2010. Suasana kantor masih lengang, sudah banyak yang masuk, tapi tak sedikit pula yang masih cuti.

Seperti tahun-tahun sebelumnya seusai lebaran, di hari pertama masuk kembali ke kantor akan disibukkan dengan kegiatan halal bihalal sebentar dengan Pak Menteri dan para pejabat eselon I s/d IV di gedung utama Mensesneg. Habis itu? Ya sudah kembali ke alam masing-masing. Kerja? Belum tentu juga, wong belum ada kesibukan, hawanya masih hawa lebaran, jadi ya masih kegiatan silaturahmi. Istilahnya masih hari krida :D. Tadi aja saking sepinya kita sudah pengen keluar nonton, tetapi mendadak batal gara-gara pak Deputi justru yang sudah sibuk mondar-mandir bawa berkas ;))

Seperti yang saya bilang kapan hari, lebaran tahun ini saya nggak mudik ke Surabaya, selain karena lebarannya gantian sama suami, sayanya juga belum dapat cuti :((. Nanti deh insyaallah Desember besok pulang sekalian datang ke nikahnya keponakan. Ternyata kalau nggak pulang itu efeknya selama lebaran disini bawaannya mupeng melulu kalau lihat orang mudik. Tapi uniknya selama lebaran ndilalah banyak obrolan lucu dari adik dan teman-teman. Jadilah saya sehari-hari ngikik-ngikik sendiri. Mungkin Allah pengen kasih saya hiburan biar nggak mupeng melulu lihat orang mudik ya ;)).

Berikut ini obrolan-obrolan absurd yang terkumpul selama lebaran :

1. Dengan si Adik via Blackberry Messenger : Balada The Last Airbender

Saya : Adek, kamu lagi ngapain?
Adik : lagi nonton. Kamu lagi ngapain, Mbak?
Saya : lagi habis tarawih nih.. ;))
Adik : oh, kamu habis buka puasa ya? :p
Saya : iya, abis ini mau lanjut tadarusan ;)). Kamu lagi nonton film apa?
Adik : The Last Airbender
Saya : eh, The Last Airbender itu film animasi atau kartun ya? Aku lupa..
Adik : lah, kalau yang kartun itu di Global TV, Mbak!
Saya : oh, lha trus jadinya apa? manusia yah?
Adik : Bukan, Gorilla! 😐
Saya : halah 😮 :))

2. Temen SMA (fotografer) via Blackberry Messenger : Untuk portfolio

Saya : Desember insya Allah aku ke Malang
Temen : oh ya? Dalam rangka ada?
Saya : ada sepupu sama keponakan mau lamaran sama nikah..
Temen : sip, sip.. nanti aku foto-foto deh..
Saya : emang sepupuku jadi pakai kamu ya?
Temen : nggak sih. Maksudku moto kamu..
Saya : oh, asyiikk. Mau, mau! :D. Eh, tapi kok aku jadi grogi ya mau difoto-foto sama kamu :))
Temen : tenang aja, selama jadi fotografer aku udah biasa moto model yang mukanya standar kok.. :p
Saya : halah! :)) *ngaca*

3. Temen blogger via gtalk : Menikah era 2.0

Temen : mbak’e maap lahir dan batin ya
Saya : Haduh iyaaa.. Sama-sama, lama nggak keliatan, udah balik ke Jakarta lagi atau masih di Bali?
Temen : masih di Bali.. Nganu, sekalian ini sekalian nyuwun doa restu iki..
Saya : eh, mau nikah yak? Kapaaan? .
Temen : iya, makanya cutinya lama. Insya Allah tanggal 25 September nanti mbak..
Saya : amien, semoga lancar ya.. Dimana?
Temen : di Manado..
Saya : trus undangan dan tiketnya nggak ada nih buat aku?
Temen : semua kok minta tiket :))
Saya : trus, di Jakarta diadain lagi atau cuma di Manado aja?
Temen : di Manado aja, Mbak.. Maunya sih bikin roadshow di seluruh kota, tapi nggak ada sponsor :))
Saya : idih..gaya bener sih, emangnya Pesta Blogger? :))
Temen : Ya begitulah, berhubung calonnya orang sana, ya acara diadakan di sana..
Saya : ya kirain ada acara ngunduh mantu gitu..
Temen : Seiring kemajuan teknologi, sekarang ngunduhnya bs lewat download manager. Biar lebih ringan, nanti mantunya dizip
Saya : blah! :))

dan obrolan pun berlanjut dengan masih membahas hal-hal absurd lainnya dan istilah “pengejawantahan”. Nggak penting banget ya? Besok-besok mau belajar pantun sama majas deh, kali aja keluar pas UAN ;))

4. Sepupu via sambungan telepon : Buta Jakarta

Sepupu : Eh, minal aidzin wal faidzin ya..
Saya : sama-sama.. Kamu lebaran di Antapani (Bandung) yah? salam buat semua ya.. 🙂
Sepupu : iya, kamu nggak kesini?
Saya : iya insyaallah kalau udah nggak sibuk aku kesana
Sepupu : kamu lebaran dimana?
Saya : Cipayung, dirumah hubby
Sepupu : Oh.. Wah, deket sama rumahnya Gus Dur dong?
Saya : Lah, itu kan Ciganjur.. ;))
Sepupu : Ooh.. (agak ragu). Berarti deket sama rumahnya SBY?
Saya : hiihihi, itu Cikeas, sayang..
Sepupu : Oooh.. jauh ya? Nggak ada hubungannya sama lokasi-lokasi tadi? :))
Saya : nggak adalah, jauh :)). Cipayung itu tempatnya Pelatnas PBSI
Sepupu : oooh.. hahahaha, iya maap, aku kan nggak apal Jakarta.. :))
Saya : *baiklah* ;))

Sebenarnya sih banyak yang lucu-lucu, termasuk di twitter. Tapi kalau semuanya di posting ya bakal seperti memindahkan chattingan disinilah ;)). Bagaimana dengan lebaran kalian? Pasti juga jauh lebih menyenangkan ya 🙂

[devieriana]

Obrolan Absurd

Forgiveness is the attribute of the strong

“Sorry seems to be the hardest words”
“Hard to say I am sorry”
“Tiada maaf bagimu! Cuiiih..” :p

Pasti kita sering mendengar kata-kata itu ya? Memaafkan. Sebuah kata yang mudah diucapkan tapi tidak mudah untuk diaplikasikan sepenuhnya dalam tindakan. Apalagi menjelang lebaran begini, pastinya mulai dari Presiden sampai sinden, mulai walikota sampai rakyat jelata akan mengucap mohon maaf lahir dan bathin.

Tapi apa iya kita sudah mampu memaafkan dengan ikhlas untuk kesalahan & kekecewaan yang sudah ditimbulkan oleh orang lain pada kita? Namun jika tidak (belum) bisa, yakinkah kita kalau kita selama hidup tidak pernah melakukan kesalahan kepada orang lain? Yakin kesalahan kita tidak ingin dimaafkan? Memang pada dasarnya karakter dasar manusia bukanlah menjadi seorang pemaaf. Tidak mudah bagi kita untuk berani mengakui kesalahan, dan kemudian meminta maaf. Atau mau begitu saja menerima permintaan maaf orang lain yang sudah menyakiti kita.

Sebenarnya, meminta maaf dan memaafkan adalah hal yang sangat manusiawi karena menunjukkan betapa tak ada seorang anak manusia pun, siapapun dia, yang sempurna, yang luput dari kekurangan, kekhilafan, kesalahan atau dosa. Namun pada kenyataannya urusan maaf memaafkan itu menjadi begitu ruwet lantaran tertutup ego. Kalau sudah ego yang bicara, mbok ya sampai kapan pun yang namanya kata maaf & “saya maafkan kamu” tidak akan pernah muncul dari bibir.

“Ih, ngapain minta maaf, orang dia yang salah kok. Kalau kamu jadi saya, kamu juga pasti nggak akan bisa memaafkan untuk semua hal yang sudah dia perbuat sama saya”

Kebetulan saya bukan termasuk orang yang pendendam. Semarah-marahnya saya sama orang, sekesel-keselnya saya sama orang, nggak pernah bertahan lama. Jujur dulu saya pernah merasa, kok sepertinya saya lemah banget ya mau-mau aja memaafkan orang yang pernah menyakiti saya? Kenapa kok saya nggak punya daya dendam untuk membalas hal jahat apa yang sudah orang lain lakukan sama saya ya? Tapi ternyata saya salah. Justru dengan memaafkan itu saya jadi lebih santai, lebih nyaman, itung-itung melatih diri untuk berjiwa besar. Karena kalau dipikirin terus jadinya bakal capek hati, capek pikiran. Yang ada energi negatifnya pada ngumpul. Makanya kadang masalah-masalah hati itu pergi seketika setelah curhat 😀

Pun halnya ketika saya berbuat salah. Jujur sebenarnya saya orangnya nggak betah berlama-lama punya masalah sama orang lain. Masih mending kalau setelah kita nyimpen masalah, terus masalahnya bisa berubah jadi bunga bank atau bunga deposito gitu ya. Kalau menurut saya yang namanya masalah itu (maaf) seperti kentut, kalau disimpen bisa bikin perut mules, nggak bagus buat kesehatan ;)). Kalau memang saya yang salah ya saya yang akan minta maaf (sungguhan), bukan asal-asalan yang hanya sebatas berjabat tangan, berpelukan atau sekedar ucapan maaf di bibir.

Mahatma Gandhi pernah berkata : The weak can never forgive. Forgiveness is the attribute of the strong. Hanya orang kuat yang mampu memaafkan orang lain.

Jadi, seberapa besar & kuat jiwa kita tergantung dari seberapa ikhlas kita mampu memaafkan orang lain. Forgiving someone for wrong doing is not an easy thing to do but a necessary thing to do if you want to live in peace.

Seperti beberapa kata dalam lyric lagu India Arie – Wings of Forgiveness berikut ini :

SELAMAT IDUL FITRI 1 SYAWAL 1431 H
Maafkan saya kalau ada salah ya, baik yang sengaja maupun yang tidak. Baik yang sudah berlalu atau yang sedang direncanakan..

;))

>:D<

[devieriana]

Forgiveness is the attribute of the strong