Di Balik Topeng Media Sosial

Media sosial, sebagaimana pernah saya tulis di tahun 2013, yang bertajuk Avatar , ibarat pisau bermata dua; dia dapat menjadi sahabat penuh manfaat tapi juga bisa jadi musuh terjahat. Bagi yang mampu mengelola akun media sosialnya dengan baik, menjadi selebriti di dunia maya bisa jadi ‘panggung’ yang menguntungkan, karena tanpa harus bersusah payah mempopulerkan diri, mengikuti audisi, atau job interview, (jika beruntung) ‘panggung’ mereka bisa ditonton oleh banyak orang dan dihadiahi dengan uang, barang, paket liburan, dll.

Dulu, ketika masih aktif di media sosial, saya memang ikut memanfaatkannya untuk banyak hal. Misalnya berbagi info tentang kegiatan komunitas yang saya ikuti, sharing knowledge, atau menggalang dana untuk misi sosial. Tapi sekarang, saya sudah banyak mengurangi hiruk pikuk di dunia media sosial. Mungkin karena semua ada masanya; mungkin saya orangnya mudah bosan, mungkin juga fokus saya saat ini bukan lagi ke media sosial seperti beberapa tahun yang lalu, tapi lebih ke keluarga, utamanya ke Si Kecil yang sekarang sedang memasuki golden age.

Ada seorang teman yang sengaja tidak bermain di media sosial apapun, alasannya, “gue nggak mau sosmed memperbudak hidup gue…” Lho, bukannya kita tetap bisa mengontrol mau posting apa, dan kapan, ya? Tanya saya. “Iya, tapi tetep aja kan lo memposting hal yang ‘diminta’ sama sosmed. Misal, di facebook, “what’s on your mind”, atau di status twitter, “what’s happening”, di instagram ‘minta’ lo posting caption foto ini itu. Nah, maksud gue tuh kaya gitu itu…” Saya nyengir. Media sosial itu kalau buat saya sih tempat bermain alias playground, tapi pernah ada di suatu masa ketika saya kebanyakan mainan sosial media walaupun tidak sampai mengalami adiksi. Jadi, dengan setengah hati saya terpaksa mengiyakan statement-nya itu.

Jadi ingat kisah Essena O’neill, seorang remaja asal Australia yang juga seorang selebgram. Sebagai seorang selebritas media sosial, hampir segalanya telah dia miliki utamanya dari hasil endorse barang di youtube/instagram. Tapi ternyata Essena yang memiliki ratusan ribu pengikut di Youtube dan Instagram itu mengatakan bahwa segenap popularitas dan barang branded yang dimilikinya belum membuatnya bahagia. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk menjadi dirinya sendiri, berterus terang kepada para fansnya tentang kisah yang berada di balik setiap foto-foto yang sempurnanya itu. Puncaknya, pada medio 27 Oktober 2015, ia menghapus lebih dari 2000 foto di instagramnya sebagai upayanya melawan adiksi terhadap sosial media. Keputusan itu diambil karena dia merasa hidupnya selama ini terlalu ‘dikonsumsi’ oleh media sosial, sehingga dia seolah hidup dalam dunia ‘dua dimensi’.

Dia mengakui bahwa sangat mudah baginya untuk memperoleh follower baru di media sosialnya, atau mendapatkan ‘likes’ di setiap foto yang diunggahnya. Tapi sejujurnya, yang mampu membuatnya bahagia adalah ketika dia melihat secara kenyataan bahwa dia menginspirasi orang lain untuk membuat perubahan positif atas hidupnya, bukan cuma mendorong mereka untuk membeli sesuatu yang baru sebagaimana barang yang dia endorse di balik foto-foto yang dia unggah di media sosial.

Ada orang-orang yang tampil di instagram dengan kesempurnaan tertentu dan menjadi ‘standar’ kesempurnaan fisik manusia. Tapi siapa sangka sebenarnya secara hidup mereka tidaklah sebahagia dan secantik yang ditampilkan di media sosial. Sama halnya seperti orang-orang yang berusaha menginspirasi dan memberi semangat ke orang lain, sementara di saat yang sama sebenarnya dia juga sedang butuh pencerahan, inspirasi, dan suntikan semangat. Been there done that. Sebaliknya, ada orang-orang yang berpenampilan biasa saja, tapi mereka justru orang-orang yang bahagia seutuhnya, mereka juga memiliki ikatan yang kuat dengan keluarga dan lingkungan sosial mereka, bahagia menjadi diri mereka sendiri tanpa berpura-pura menjadi seseorang yang berbeda.

Dengan demikian bukan berarti media sosial bisa dijadikan tolok ukur kebahagiaan dan pengakuan, or even worse, pencitraan. Sangat mudah ‘menciptakan’ hidup yang ‘ideal’ melalui filter yang impresif di media sosial. Karena tujuan media sosial selain untuk mengekspresikan diri, juga bisa berfungsi sebagai sneak peek atau penggalan hidup sang pengguna, di mana hal itu dapat menjadi indikator kepribadian, pun status sosial ekonominya.

Di balik itu semua, saya pribadi setuju bahwa media sosial dapat menjadi salah satu bagian dari personal branding dan sangat sayang kalau tidak dimanfaatkan sama sekali di era yang makin kompetitif ini. Bagi orang-orang yang berjiwa enterpreneur, publisitas dan exposure akan mempunyai peran yang sangat bagus jika dimaksimalkan penggunaannya.

Itulah mengapa terlalu mendalami peran dalam sandiwara pencitraan hanya demi berlomba mendulang followers, meraup ‘likes’, serta memancing pujian yang sebenarnya bukanlah kehidupan nyata itu sedikit berbahaya bagi kesehatan jiwa. Akan ada saatnya di mana kita letih berpura-pura dan ingin tampil apa adanya.

Semoga saja sebelum nafsu dan emosi mengambil alih kendali atas ujung jari kita untuk mengunggah sisi rapuh dan kelemahan kita, akal sehatlah yang mampu membantu mengurungkan niat agar harga diri tetap terjaga. Karena sesungguhnya fame dan pure itu cuma beda tipis.

Just my two cents.

-devieriana-

Status

Spotlight: Break The Story, Break The Silence

jurnalistik

spotlight

“If it takes a village to raise a child, it takes a village to abuse one.”
– Mitchell Garabedian –

Pffiuh, setelah seminggu berkutat dengan mata pelajaran ujian kedinasan, akhirnya malam ini sempat juga nonton film keren yang bertajuk Spotlight. Film yang sudah beberapa waktu lalu saya download tapi belum sempat ditonton.

Spotlight adalah film Amerika bergenre drama biografi (diangkat dari kisah nyata), yang disutradarai oleh Tom McCarthy, dan skenarionya ditulis oleh Tom McCarthy, bekerja sama dengan Josh Singer. Dirilis pertama kali pada tanggal 6 November 2015 oleh Open Road Films. Spotlight memenangi Academy Award untuk Best Picture dan Best Original Screenplay, dari enam nominasi total yang diperolehnya. Cerita ini dibuat berdasarkan pada serangkaian cerita oleh Tim Spotlight aktual yang sempat memperoleh anugerah Pulitzer Prize for Public Service tahun 2003. Jadi, kalau di-review, Spotlight ini semacam one to the beat-nya tahun 2015. Film sekeren itu kok ya saya baru nonton, coba!

Film ini menceritakan tentang kiprah unit jurnalis investigasi surat kabar The Boston Globe, Spotlight, yang mengkhususkan diri menangani kasus-kasus besar dan prosesnya mampu memakan waktu panjang. Tim Spotlight terdiri dari Walter Robinson (Michael Keaton), sebagai Editor, yang akrab dipanggil Robby. Disusul kemudian tiga reporter, Michael Rezendez (Mark Ruffalo); Sacha Pfeiffer (Rachel McAdams); Matt Carroll (Brian d’Arcy James); dan Ben Bradlee Jr. (John Slattery) sebagai Deputy Editor.

Kebanyakan staf The Boston Globe, adalah orang yang lahir dan tumbuh di Boston, serta dibesarkan dalam lingkungan keluarga Katolik yang taat. Boston adalah sebuah kota di mana hampir setengah populasi adalah Katolik. Pun halnya dengan pembaca The Boston Globe. Sedikit berkebalikan dengan editor in chief mereka yang baru, Marty Baron (Liev Schreiber), dia berasal dari Miami dan seorang Yahudi. Ini penting, sebab kasus yang ditangani itu akan memberikan dampak yang besar pada beberapa karakter di dalamnya.

Kisah diawali tahun 2001, ketika Marty Baron (Liev Schreiber) mengambil alih kendali editorial The Boston Globe. Dia mempertanyakan mengapa Spotlight tidak menginvestigasi skandal pelecehan seksual yang melibatkan instansi tertua dan terpercaya di dunia, yaitu gereja, dan mengapa pengadilan menyegel dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kasus itu? Dari sinilah jalan cerita bermula.

Investigasi besar itu pun dimulai. Para jurnalis menghadapi hambatan besar, baik hambatan yang berangkat dari asumsi-asumsi mereka sendiri, maupun hambatan yang berasal dari orang-orang kuat yang mencoba untuk menghentikan mereka. Namun hambatan itu toh harus dihancurkan oleh tim demi mengungkap kebenaran, meskipun kali ini mereka harus bersinggungan dengan gereja; sebuah institusi dengan kekuatan yang luar biasa, baik secara politik maupun budaya. Sebuah institusi di mana Tuhan diyakini keberadaannya, di mana jemaat lebih memilih diam menutup mata, daripada harus melawan gereja, karena melawan gereja sama saja seperti melawan utusan Tuhan, atau justru melawan Tuhan itu sendiri. Keadaan seolah makin klop, karena gereja pun memilih menutup rapat kasus ini.

Film ini menunjukkan bagaimana laporan pelecehan anak oleh pendeta Katolik perlahan diperluas dan dibentangkan. Empat jurnalis ini bekerja spartan (pantang menyerah, disiplin, percaya diri) membongkar skandal yang bahan-bahan investigasinya pernah diterima oleh Robby 20 tahun yaang lalu, saat dia masih di desk Metro The Boston Globe.

Seorang pendeta bernama John Geoghan diduga telah melakukan pelecehan seksual kepada sekitar 80 anak laki-laki. Yang menjadi permasalahan adalah, sebenarnya Kardinal Law dari Uskup Besar Boston diduga mengetahui hal tersebut namun dia hanya mendiamkannya. Berawal dari nama satu pendeta ini, tim berhasil menguak fakta-fakta baru. Di tahap awal, ada 13 nama pendeta yang diduga melakukan pelecehan seksual sebelum akhirnya berkembang menjadi 90 nama pendeta. Kebanyakan keluarga para korban pelecehan itu diberi uang tutup mulut agar mereka diam, dan tidak ada yang (berani) mengungkap kasus itu secara nyata. Hingga akhirnya tim ini menemukan fakta yang mengejutkan bahwa kejahatan seksual terhadap anak kecil ini telah terjadi secara masif dan melibatkan jaringan gereja Katolik global. It is a city-wide problem.

Fenomena gunung es, itulah istilah yang tepat untuk menggambarkan kasus ini. Sebagaimana telah tersebut di atas, jumlah pelaku pelecehan seksual ini bukan hanya satu, tapi puluhan orang. Bayangkan, jika dari satu pelaku saja sudah memunculkan banyak korban, bagaimana jika pelakunya ada puluhan? Kasus yang sedang coba mereka ungkap ini barulah sebatas kasus yang mencuat ke permukaan saja, Tom McCarthy secara eksplisit memaparkan data-data skandal yang belum terbongkar di lebih dari lima puluh tempat di dunia. Horor!

Semua anggota tim bekerja semaksimal mungkin untuk mengungkap kasus ini. Lihat saja usaha Mike Rezendes ketika mengejar seorang pengacara nyentrik bernama Mitchell Garabedian (Stanley Tucci) demi mendapatkan informasi yang diperlukan. Walaupun sempat mendapatkan penolakan keras di awal usahanya, Mike Rezendes tak patah semangat. Terbukti, kegigihannya itu mulai membuahkan hasil. Satu persatu informasi yang dibutuhkan pun mulai terkumpul, bahkan dia bisa bertemu dengan sumber informasi Si Pengacara, Patrick McSorley (Jimmy LeBlanc). Saya terkesan dengan cara Mike menggali informasi, dan memperlakukan sumber informasinya. Dia bukan hanya mendengarkan mereka dengan telinga, tapi juga dengan hati, penuh empati.

Perjuangan Sacha demi melakukan wawancara dengan para narasumber pun tak selalu berjalan lancar. Berbagai penolakan dihadapinya. Seperti ketika Sacha mencoba menghubungi salah satu pendeta yang masuk dalam daftar tersangka, Ronald Paquin (Richard O’Rourke), seorang pensiunan imam, yang sempat menjawab pertanyaan-
pertanyaan Sacha dengan jujur dan ramah. Namun tetap saja dia membela diri, alasannya melakukan tindakan itu karena dulu dia pun adalah korban pelecehan seksual. Sayangnya wawancara itu terpaksa terhenti karena seorang perempuan bernama Jane Paquin (Nancy E. Carroll) tiba-tiba muncul dari balik pintu, dan meminta Sacha untuk
tidak melanjutkan wawancara.

Adegan yang menyedihkan juga terjadi ketika Joe Crowley (Michael Cyril Creighton), yang sejak kecil menyadari dirinya gay itu ternyata dimanfaatkan oleh seorang pastor bernama Shanley. Bukan hal mudah untuk menceritakan kembali hal pahit yang menimpanya di masa kecil, tapi bagaimana pun demi mengungkap kasus yang telah memakan banyak korban ini, dia harus menekan rasa traumanya itu.

Ada satu adegan yang menarik di film ini. Ada sebuah grup di mana para korban pelecehan seksual itu berkumpul. Phil Saviano adalah ketua perkumpulan tersebut. Dia juga menceritakan hal apa saja yang telah dilakukan oleh para pastor tersebut ketika dia masih kecil kepada tim Spotlight. Saviano kecil menganggap pastor adalah orang baik, semacam perwakilan Tuhan di dunia. Pelaku, yang notabene jauh lebih tua secara usia, dan dianggap lebih paham dalam hal pengetahuan agama, memposisikan dirinya sebagai orang suci yang jauh dari dosa, dan ‘dekat’ dengan Tuhan. Melalui akses inilah otak cabul para pemuka agama itu bekerja memperdaya para calon korban yang usianya jauh di bawah mereka, dan pengetahuan agamanya masih jauh dari cukup.

“I was eleven. And I was preyed upon by father David Holly in Wester. And I don’t mean ‘prayed for’, I mean ‘preyed upon’.”

Awalnya, saya menduga cerita dalam film ini akan disajikan secara rumit, dan dengan alur cerita yang membosankan. Tapi ternyata dugaan saya salah, kerumitan yang muncul di film ini ternyata tidak se-complicated yang saya perkirakan. Kerumitan yang masih relatif mudah dipahami. Sekalipun film ini mengusung tema yang sensitif tapi alur ceritanya tetap nyaman untuk diikuti.

Spotlight menunjukkan bagaimana kerja yang sesungguhnya di dunia jurnalistik itu. Tom McCarthy memotret kinerja institusi media dengan sangat cermat. Usaha jurnalisme dalam menggali dan membawa ketidakadilan ke pusat perhatian publik terasa sangat tajam di film ini. Semua tersaji dalam takaran yang tepat, rapi, sistematis, dan proporsional, tanpa kesan eksploitatif yang berlebihan atau kurang sopan. Spotlight menggarisbawahi salah satu fungsi media sebagai alat kontrol sosial. Jika ada kejahatan dan terjadi secara sistemik, IMHO, sudah selayaknya medialah yang harus menjadi pencerahnya, bukan malah ikut bermufakat dengan golongan pelaku kejahatan.

Mengubah budaya tertentu memang bukan hal yang mudah, tapi jika memang diperlukan, ya harus dilakukan.

 

 

– devieriana –

 

sumber ilustrasi dari IMDB

Status